BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pengertian Zakat
Secara hakikat zakat adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang
memiliki kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan,
pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwasannya zakat saham dan obligasi tidak
terbatas zakatnya.
Instrumen
pasar modal dapat dibedakan atas surat berharga yang sifat untung (bonds atau obligasi) dan surat berharga
yang bersifat pemilikan (saham atau equiti).
Obligasi adalah bukti pengakuan berutang dari perusahaan. Sedangan saham adalah
bukti penyertaan modal dalam perusahaan.
Zakat merupakan salah satu kewajiban muslim yang tidak hanya sbagai
ibadah mahdah pertanda hubungan harmonis secara vertikal dengan Allah SWT,
tetapi juga sebagai kewajiban yang bersifat horizontal sesama muslimdan sesama
manusia. Artinya zakat juga merupakan salah satu bentuk filanteropi dalam Islam.
Secara normatif harta yang harus dizakati ada lima macam, zakat
binatang ternak, zakat pertanian, zakat perdagangan, zakat emas perak, dan
zakat rikaz. Tetapi menurut ulama kontemporer berdasarkan ijtihat dengan
melihat realitas aktivitas ekonomi modern yang semakin variatif, berpendapat
bahwa yang wajib dizakati ada sembilan macam yaitu: zakat binatang ternak,
zakat emas dan perak/ zakat uang, zakat kekayaan dagang, zakat pertanian, zakat
madu, dan produksi hewani, zakat barang tambang dan hasil laut, zakat investasi
pabrik, gedung dan lain-lain, zakat pencarian dan profesi serta zakat saham dan
obligasi.
Makalah ini akan akan membahas tentang kewajiban zakat perusahaan,
saham dan obligasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ZAKAT PERUSAHAAN/ZAKAT BADAN HUKUM
1.
Pengertian
Zakat Badan Hukum
Zakat secara etimologi berarti berkembang dan bertambah. Zakat
berarti suci, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Syams ayat 9: قد أفلح من زكاها
“Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”, maksutnya
bersuci dalam kotoran. Zakat juga
berarti pujian. Jadi makna zakat pada dasarya adalah suci, berkembang,
berkah, dan terpuji. Secara termologi zakat adalah sebutan untuk suatu yang
dikeluarkan untuk mensucikan harta atau diri manusia dengan cara tertentu.
Menurut
Al-Qaradawi zakat secara syara’ adalah bagian tertentu dri harta yang Allah
wajibkan untuk diberikan kepada para mustahiq. Zakat secara syara’ dinamakan
zakat karena dengan zakat dapat berkembang dengan berkah dan membersihkan diri
sesorang dengan ampunan.
Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pasal 1
ayat (2) menyebutkan bahwa: “Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh
seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh oramh muslim sesuai dengan
ketentuan agama untuk diberikan kepada yag berhak menerimanya.” Sedangkan
pada Umdang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat pasal 1 ayat (2)
disebutkan bahwa “Zakat adalah harta wajib dikeluarkan oleh seorang muslim
atau badan usaha untuuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan
syariat Islam.” Sementara Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) ahun 2008
mendefinisikan zakat pada pasal 675 ayat (1) “Zakat adalah harta yang wajib
disishkan oleh muslim untuk diberikan kepada yang berhk menerimanya.”
Berdasarkan pemaparan definisi zakat di atas, jelas bahwa definisi
zakat meurut undang-undang dan KHES lebih konprehensif, karena tidak hanya
berkaitan dengan zakat perorangan, akan tetapi juga terkait dengan badan hukum.
Artinya muzakki tidak hanya terbatas pada sesorang, akan tetapi juga badan
hukum, karena badan hukum juga termasuk subjek hukum.[1]
2. Badan Hukum
Badan Hukum dikatakan sebagai subjek hukum
karena terdiri dari kumpulan orang-orang yang melakukan perbuatan hukum
(tasharruf). Badan hukum merupakan hasil analogi dari keberadaan manusia dalam
subyek hukum. Ketentuan menjadikan badan hukum sebagai subjek hukum, tidak
boleh bertentangan dengan prisip-prnsip akad yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
sunnah. Keberadaan badan hukum terkait dengan adanya penerapan akad wakalah
dalam pembagian tugas dari suatu manajemen perusahaan. Dalam hal ini manusia
bertindak sebagai wakil dari organ lembaga atau perusahaan tersebut. Meskipun
atas nama badan hukum sesorang menjalankan amanah perusahaan, namun sebagai
pertanggungjawaban vertikal tetap dikembalikan kepad amalan individu
masing-masing.
Badan hukum adalah suatu perkumpulan
orang-orang yang mengadakan kerja sama dan atas dasar ini merupakan suatu
kesatuan yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Badan
hukum merupakan pendukung hak yang tidak berjiwa (bukan manusia) dan merupakan
gejala sosial yaitu suatu gejala yang riil, sesuatu yang dapat dicatat dalam
pergaulan hukum, biarpun tidak berwujud manusia atau benda yang dibuat dari
besi, batu dan sebagainya, tetapi yang terpenting bagi pergaulan hukum adalah
karena badan hukum itu mempunyai kekayaan yang sama sekali terpisah dari
kekayaan.[2]
3. Syarat-Syarat Badan Hukum
Untuk keikutsertaannya dalam pergaulan
hukum maka suatu badan hukum harus mempunyai syarat-syaratyang telah ditentukan
oleh hukum, yaitu:
a.
Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya.
b.
Hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para
anggota-anggotanya.
Badan hukum yang dimaksud adalah badan
hukum yang profitable, bertujuan untuk mengembangkan harta dan mencari laba
atau keuntungan, yaitu lembaga keuangan Syari’ah, seperti Baitul Mal wa Tamwil
(BMT), kopersi Syari’ah dan bank syari’ah.[3]
4. Badan Hukum Sebagai Subjek Hukum
Pengertian subyek hukum berarti pembuatan
manusia yang dituntut oleh Allah berdasarkan ketentuan hukum syara’. Perbuatan
yang dibebani hukum dalam ushul fiqh dikenal dengan istilah mukalaf. Subjek
hukum terdiri dari dua macam yaitu manusia sebagai subjek hukum dan badan
hukum, dalam rukun akad, kedua subjek hukum tersebut kedudukan sebagai aqidain.
Namun agar aqidain dapat mengadakan bisnis secara sah, maka harus memenuhi
syarat kecakapan (ahliah) dan kewewenamgam (wilayah) bertindak di hadapan
hukum.
Menurut teori tradisional, subjek hukum
adalah orang yang merupakan subjek dari suatu kewajiban hukum atau hak. Jika
“hak” (Berechtigung) dipahami bukan semata sebagai hak refleks,
melainkan wewenang hukum untuk mendesak (melalui gugatan hukum) dipenuhinya
gugatan hukum, yakni wewenang hukum untuk berpartisipasi dalam penciptaan
keputusan pengadilan yang membentuk sebuah norma individual yang memerintahkan
eksekusi sanks sebagai reaki terhadap tidak dipatuhinya suatu kewajiban; dan
jika seseorang mempertimbngkan bahwa subjek dari wewenang hukum untuk
menciptakan atau menerapkan norma hukum sama sekali tidak selalu disebut
sebagai hukum, maka akan lebih mudah untuk membatasi konsep “subjek hukum” pada
subjek kewajiban hukum dan untuk membedakan antara konsep “subjek kewajiban
hukum” dari konsep “subjek wewenang hukum.”
Secara garis besar, ada dua macam subjek
hukum, pertama, Natuurlijk person, adalah mens person yang
disebut orang atau manusia. Kedua, recht person, adalah yang berbentuk
badan hukum yang dapat dibagi dalam: (1) Publiek Rechtperson, yang sifatnya ada
unsur kepentingan umum, seperti negara; (2) Privat Rechtperson/Badan hukum
privat, yang mempunyai sifat/adanya unsur kepentingan individual.
5. Dasar Hukum Zakat Badan Hukum
a. Dasar hukum dari Al-Qur’an
1. Surah Al-Baqarah ayat 267
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا
كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ
الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ
وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya,
padahal kamu sendiri tidak mau mengambil-nya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji.” (QS. 2:267)
2. Suarah Al-Taubah ayat 103
“Ambilah
(sebahagian) dari harta mereka menjadi sedekah (zakat), supaya dengannya engkau
membersihkan mereka (dari dosa) dan mensucikan mereka (dari akhlak yang buruk);
dan doakanlah untuk mereka, kerana sesungguhnya doamu itu menjadi ketenteraman
bagi mereka. Dan (ingatlah) Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui”
Bila dianalisa dengan pendekatan usul fiqh,
maka dalil-dalil di atas dapat dikategorikan dalil umum atau mujmal. Ayat 267 surat Al-Baqarah menggunakan kata الذين
امنوا yang berarti masih umum.
Maksudnya semua orang yang beriman diperintahkan untuk berinfaq. Menurut Ibnu
Katsir yang dimaksud infaq dalam ayat tersebut adalah sedekah. Sebagaimana
dijelaskan di atas, sedekah ada dua macam, yaitu sedekah wajib dan sunah. Ayat
di atas lebih condong pada sedekah wajib, hal ini berdasarkan penafsiran Ali
dan al-Saddi yang menafsirkan kata ماكسبتم dengan emas, perak dan buah-buahan serta
tanaman yang dihasilkan dari pertanian. Sementara menurut Mujahid ماكسبتم adalah harta perdagangan. Imam al-Syaukani
secara jelas menyatakan bahwa ayat ini turun sebagai perintah untuk berzakat.
Yusuf al-Qaradawi juga berpendapat demikian.
Sementara ayat kedua (surah al-Taubah ayat
103), menunjukkan lebih spesifik, yaitu menggunakan kata صدقة yang berarti
zakat. Qoinah-nya adalah lafaz تطهر هم وتزكيهم بها artinya ayat ini lebih khusus, karena
menunjukkan perintah untuk mengambil zakat, sementara zakat tidak dapat diambil
dari setiap orang mukmin secara umum. Ada batasan yang membuat ayat ini berarti
khusus, yaitu zakat diambil dari orang mukmin scara umum. Ada batasan yang
membuat ayat ini berarti khusus, yaitu zakat diambil dari orang mukmin yang
mempunyai harta yang wajib dizakati, jumlahnya mnimal satu nisab, harta
tersebut dimiliki lebih dari setahun (kecuali rikaz dan pertanian), harta
tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok dan batasan-batasan lain.
Namun demikian, keumuman mengenai jumlah orang yang memiliki harta masih saja
berlaku, artinya, apakah harta dimiliki bersama atau miliki perseorangan tetap
dikenakan wajib zakat.
b. Dasar hukum dari al-Sunnah
Hadist riwayat Bukhari dan Anas bin Malik:
“Dari Anas bahwa Abu Bakar ash-Shiddig R.a
menulis surat kepadanya:’Ini adalah kewajiban zakat yang diwajibkan oleh
Rasulullah Saw. atas kaum muslimin. Yang diperintahkan Allah atas rasul-Nya ialah setiap 24 ekor
unta ke bawah wajib mengeluarkan kambing, yaitu setiap kelipatan lima ekor unta
zakatnya seekor anak kambing. Jika mencapai 25 hingga 35 ekor unta, zakatnya
seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun kedua, jika tidak
ada zakatnya seekor anak unta jantan yang umurnya telah menginjak tahun ketiga.
Jika mencapai 36 hingga 45 ekor unta, zakatnya seekor anak anak unta betina
yang umurnya telah menginjak tahun ketiga. Jika mencapai 46 hingga 60 ekor
unta, zakatnya seekor unta betina yang umurnya telah masuk tahun keempat dan
bisa dikawini unta jantan. Jika mencapai 61 hingga 75 ekor unta, zakatnya
seekor unta betina yang umurnya telah masutahun kelima. Jika mencapai 79 hingga
90 ekor unta, zakatnya dua ekor anak
unta betina yang umurnya telah menginjak tahun kedua. Jika mencapai 91
hingga 120 ekor unta, maka setiap 40 ekor zakatnya seekor anak unta betina yang
umurnya masuk tahun ketiga dan setiap 50 ekor zakatnya seekor unta betina yang
umumnya masuk tahun keempat. Bagi yang hanya memiliki 4 ekor unta, tidak wajib
atasnya zakat kecuali emiliknya menginginkan. Mengenal zakat kambing yang dilepas
mencari makan sendiri, jika mencapai 40 hingga 120 ekor kambing, zakatnya
seekor kambing. Jika lebih dari 120 hingga 200 ekor kambing, zakatnya dua ekor
kambing. Jika lebih dari 200 hingga 300 kambing, zakatnya tiga ekor kambing
Jika lebih dari 300 kambing, maka setiap 100 ekor zakatnya seekor. Apalagi jumlah
kmbng yang dilepas mncari makan sendiri kurang dari 40 ekor, maka tidak wajib
atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menghendaki.
Pada dasarnya hadist-hadist diatas
berkaitan tentang zakat perkongsian (syirkah) pada kepemilikan binatang ternak
namun hal ini dapat diterapkan pada zakat perkongsian kepemilikan harta
kekayaan lainnya, termasuk saham,badan hukum
atau perusahaan. Kepemilikan
harta yang profitable atau bertujuan untuk mengembangkan harta dan mencari
keuntungan dari modal, wajib dizakati sebagaimana kepemilikan binatang ternak.
c. Dasar hukum dari undang-undang
1. Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang
pengelolaan Zakat pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Zakat adalah harta yang wajib disishkan oleh orang muslim atau badan yang dimiliki
oleh muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.” Dan pasal 11 ayat (2) yang menyatakan:
“Harta yang dikenai zakat adala: a) emas,
perak dan uang; b) perdagangan dan perusahaan; c) hasil pertanan, hasil
perkebunan dn hasil perikanan; d )
hasil pertambangan ; e) hasil pertenakan; f) hasil pendapatan dan jasa;
g)rikaz;”
2. Undang-Undang No.23 Tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat pada pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa “Zakat adalah harta
yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau bdan usaha untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.” Pasal 4 ayat (2)
menyatakan:
“Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi: a) emas, perak , dan logam mulia lainnya; b) uang dan surat
berharga lainnya; c) perniagaan; d) pertanian, perkebunan, dan kehutanan; e)
peternakan dan perikanan; f) pertambangan; g) perindustrian; h) pendapatan dan
jasa; dan i) rikaz.”
d. Dasar hukum
KHES
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES)
tahun 2008 mendifinisikan zakat pada pasal 675 ayat (1) “ Zakat adalah harta
yan wajib disisishkan oleh seorang muslim atau lembaga yang dimiliki oleh
zakati seorang muslim atau lembaga
yang dimiliki oleh muslim untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
“Pasal 680 menyatakan: “Zakat dikenakan juga pada produk lembaga keuangan
syari’ah, baik bank maupun non bank yang ketentuannya disesuaikan menurut akad
masing-masing produk.” Pasal 685 menyatakan: “ Yang berkewajiban zakat adalah
orang atau badan hukum.[4]
6. Syarat Zakat Badan Hukum
a. Syarat badan hukum yang wajib zakat
1) Badan hukum yang wajib zakat merupakan
tempat bekerja orang-orang yang beragama Islam, atau setidaknya sebagian besar
yang bekerja adalah orang Islam.
2) Pada hukumnya wajib zakat merupakan badan
hukum yang menjalankan usaha yang profitable dan berkembang.
3) Usaha yang dijalankan oleh badan hukum
tersebut merupakan usaha yang halal.
4) Menurut ulama Hanbaliyah, Badan hukum tersebut tidak memiliki
hutang yang apabila dibayar, maka asetnya tidak sampai satu nisab.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, Bahwa apabila aset yang ada digunakan untuk
membayar hutang sisa harta lain yang dapat digunakan untuk membayar hutang,
maka tidak wajib dizakati.
Imam Syafi’i dalam qoul jadid, sebagaimana dikutip al-Zuhaili berpendapat
bahwa meskipun hutang itu besar sehingga bila harta digunakan untuk membayar
maka sisanya tidak mencukupi satu nisab pemiliknya tetap wajib membayar zakat.
b. Syarat yang dizakati
Dalam insiklopedi fiqh dijelaskan mengenai
syarat-syarat zakat:
1) Harta yang dimiliki oleh pihak (perorangan
atau badan hukum) yang jelas, maka tidak diwajibkan atas harta yang tidak ada
pemiliknya yang jelas.
2) Kepemilikan sebagaimana disebut di atas
merupakan kepemilikan yang mutlak.
3) Harta tersebut merupakan kelebihan dari
kebutuhan pokok. Syarat ini merupakan persyaratan yang dikemukaan oleh ulama
Hanafiyah.
4) Harta tersebut berada dalam pemilikan badan
usaha telah berlangsung selama satu tahun qamariyah atau tahun hujriyah.
5) Harta tersebut harus mencapai satu nisab.[5]
7. Nisab dan Haul Zakat Badan Hukum
Menurut pemikiran Yusuf Qaradawi, jika
diambil dari pendapat yang melihat saham sesuai dengan jenis perusahaan
dagangnya, di mana saham merupakan bagian dari modal perusahaan, maka ia lebih
cenderung menyamakan perusahaan-perusahaan itu (apa pun jenisnya) layaknya
individu-individu. Perusahaan-perusahaan industri atau semi industri yang
dimaksudkan adalah perusahaan-perusahaan yang modalnya yang terletak dalam
perlengkapan, alat-alat, gedung-gedung, dan perabot, sperti percetakan, pabrik,
hotel, kendaraan angkutan, taksi dan lain-lain zakatnya tidak diambil dari
saham-sahamnya, namun diambil dari keuntungan bersihnya sebesar 10%. Sedangkan
perusahaan perdagangan, yaitu perusahaan yang kebanyakan modalnya terletak
dalam bentuk barang yang diperjual-belikan dan materinya tidak tetap, maka
zakatnya diambil dari sahamnya, sesuai dengan harga kebanyakan modalnya
terletak dalam bentuk barang yang diperjual-belikan dan materinya tidak tetap,
maka zakatnya diambil dari sahamnya, sesuai dengan harga yang berlaku di pasar,
ditambah dengan keuntungannya. Oleh karena itu, zakatnya sekitar 2,5%, setelah
nilai peralatan yang masuk dalam saham, dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan
pendapat beliau mengenai harta perdagangan yaitu, bahwa zakatnya wajib atas
modal yang bergerak. Perlakuan terhadap perusahaan-perusahaan dagang ini sama
degan perlakuan terhadap toko-toko dagang yang dimiliki perorangan.
Yusuf Qaradawi berpendapat bahwa nisab
zakat profesi atau perusahaan yang profitable adalah senilai dengan 85 gram
emas. Sementara ukuranzakatnya adalah 2,5 %.
Berkaitan dengan nisab zakat badan hukum
sebagaimana disebutkan dalam pasal 685 KHES 2008, dijelaskan pada pasal
berikutnya, yaitu pasal 686 yang menyatakan:
1) Zakat dihitung dari seluruh penghasilan
yang didapatkan kemudian dikurangi oleh biaya kebutuhan hidup.
2) Besarnya nisab sama dengan besarnya nisab
pada zakat barang yang meiliki nilai ekonomis, yaitu 85 gram emas. Mengenai
ukurannya, nisabnya pada zakat perdagangan, yaitu 2,5%.[6]
B.
Zakat saham
1.
Pengertian
saham
Menurut
bahasa Indonesia saham artinya serta atau sero, secara definitif, saham adalah
surat bukti bagi persero dalam perseroan terbatas. Saham merupakan hak
kepemilikan terhadap sejumlah tertentu kekayaan suatu perseroan terbatas (PT).
setiap lembar saham memiliki nilai tertentu yang sama. Dan besarnya hak
kepemilikan seseorang atas harta perusahaan ditentukan oleh jumlah lembar saham
yang dimiliki. [7]
Dalam ensiklopedi Indonesia
disebutkan, bahwa saham adalah surat bukti yang menyatakan bahwa seseorang turut
serta dalam suatu perseroan terbatas (PT). pemilik saham disebut persero, ia
berhak atas sebahagian laba yang dihasilkan perusahaan yang dijalankan oleh PT
yang bersangkutan. Persero juga berhak berpendapat dalam urusan-urusan mengenai
pemimpin perusahaan[8].
Jenis-jenis
saham
a. Jenis
saham berdasarkan cara peralihan
·
Saham atas unjuk
Saham atas unjuk adalah saham yang tidak
mempunyai nama pemilik saham tersebut. Dengan demikian saham ini sangat mudah
untuk di peralihkan.
·
Saham atas nama
Saham atas nama adalah saham yang
ditulis dengan jelas siapa pemiliknya. Cara peralihan saham yang demikian harus
melalui prosedur tertentu.
b. Jenis
saham berdasarkan hak tagihan
·
Saham biasa
Saham biasa adalah saham yang
menempatkan pemiliknya pada posisi paling akhir dalam hal pembagian deviden,hak
atas hartakekayaan perusahaan apabila perusahaan tersebut mengalaami
likuiditas.
·
Saham preferen
Saham preferen adalah saham yang
memmberikan prioritas pilihan kepada pemegangnya.[9]
C. Zakat Obligasi
a.
Pengertian
Obligasi
Obligasi adalah surat bukti turut serta
dalam pinjaman kepadaperusahaan atau badan pemerintahan. Obligasi merupakan
kertas berharga yang berisi pengakuan bahwa bank, perusahaan, pemerintah
berhutang kepada pembawanya sejumlah tertentu dengan bunga tertentu pula.
b. Jenis-jenis
obligasi
·
Obligasi emas, yaitu suatu jaminan bahwa
bunga dan pengambilan pinjaman akan dibayar dengan uang emas
·
Obligasi hipotek yang dijamin dengan
rungguhan barang tak bergerak
·
Obligasi dengan bagian keuntungan
kecuali yang sudah ditentukan
·
Obligasi yang dapat konversi
·
Bilyat perbendaharaan, yaitu obligasi
negara berjangka pendek, biasanya satu tahun dan sebagainya[10]
Saham
|
Obligasi
|
Bagian
penyertaan dalam modal dasar suatu PT.pemegang saham adalah emiten, pemilik
perusahaan
|
Bukti
pengakuan utang / pinjaman uang dari masyarakat (publik). Pemegang obligasi
adalah kreditur
|
Penanaman
dana tidak terbatas, jangka waktunya selama perusahaan masih beroperasi
|
Terbatas
waktu
|
Dividen
ditambah dengan kemungkinan
|
Bunga
tetap (suku bunga tahunan
|
Risiko
relative lebih besar
|
Resiko
relative lebih kecil
|
Hak
suara dalam rapat pemegang saham turut menentukan kebijakan perusahaan
|
Hak
pemegang obligasi dalam rapat umum pemegang obligasi terbatas pada lahan
pinjaman saja
|
Dalam
hal likuiditas pemegang saham mempunyai klaim terakhir terhadap aset peruhaan
|
Dalam
hal likuiditas pemegang obligasi mempunyai klaim untuk didahulukan terhadap
pemegang saham
|
Dasr
perikatan ditentukan dalam anggaran dasar perusahaan
|
Dasar
perikatan ditentukan dalam perjanjian perwalian
|
D.
Saham dan Obligasi
Menurut Syekh Abdur Rahman dalam bukunya
“ Almuamalatu Al Haditha Wa Ahkam” ia berkata banyak orang yang memiliki saham
perusahaan tidak mengetahui bagaimana hukum zakat saham-saham itu. Ada yang
mengira bahwa saham-saham itu tidak wajib zakat,dan ada yang mengira saham itu
mutlak wajib zakat, jadi yang benar dilihat bentu saham itu sesuai dengan
bentuk perusahaan yang menerbitkanya.[11]
Bila perusahaan itu merupakan perusahaan
murni, artinya tidak melakukan kegiatan dagang, maka tidak wajib zakat, tetapi
keuntungannya disatukan kedalam kekayaan
pemilik saham maka zakatnya dikeluarkan sebagai zakat kekayaan. Dan apabila
perusahaan itu merupakan perusahaan dagang murni yang membeli dan menjual
barang-barang tanpa melakukan kegiatan pengelola, misalnya perusahaan yang
menjual hasil industri, perusahaan dagang internasional, perusahaan ekspor
impor dan lain-lain, maka saham itu wajib zakat.[12]
Sebagian ulama lagi berpendapat, bahwa
saham dan obligasi sama dengan barang dagangan dan merupakan harta kekayaan.
Dengan demikian Abu Zahrah, Abd Rahman Hasan Dan Abd Wahaab Khallaf mengatakan
bahwa saham dan obligasi sebagai surat berharga yang diperjualbelikan. bila
saham dan obligasi dianggap sebagai barang dagangan, maka zakatnya berlaku
sebagai barang dagangan, yaitu sebesar 2,5%.
Menurut Yusuf Qardawi, bahwa zakat saham
dan obligasi dilihat dari jenis perusahaan yang mengeluarkannya, apakah
perusahaan itu perusahaan industri atau perdagangan atau campuran keduanya.
Saham hanya bisa dinilai setelah perusahaan yang mencerminkan sebagai kekayaan
itu diketahui.[13]
saham dan obligasi termasuk ke dalam kategori barang dagangan (komodtas perdagangan). Dengan demikian,
benarlah jika keduanya termasuk harta yang wajib zakat sebagaimana harta-harta
dagang lainnya dan disamakan dengan harta kekayaan dagang, meskipun saham
adalah halal sedangkan obligasi adalah haram. Namun demikian, hal itu tidaklah
menghalangi wajibnya zakat pada obligasi karena mendayagunakan hasil usaha yang
buruk untuk bersedekah (zakat) merupakan perkara yang tidak dilarang.[14]
Ada
pun dalil yang menjelaskan tentang wajibnya zakat saham dan obligasi.
“sayidina Ali telah
meriwayatkan bahwa Nabi saw: apabila kamu mempunyai (uang simpanan) 200 dirham
dan telah cukup haul (ganap setahun), maka diwajibkan zakatnya 5 dirham. Dan
tidak di wajibkan mengeluarkan zakat (emas) kecuali kamu mempunyai 20 dinar.
Dan apabila kamu mempunyai 20 dinar dan telah cukup setahun, maka diwajibkan
zakatnya setengah dinar. Demikian juga kadarnya jika nilainya bertambah, dan
tidak diwajibkan zakat suatu harta kecuali genap tahunnya”. (HR Abu Daud)
Syarat
wajib zakat saham dan obligasi
- Islam
- Merdeka
- Milik sendiri
- Cukup haul
- Cukup nisap
Cara menghitung zakat saham dan obligasi
adalah 2,5% atas jumlah terendah dari semua saham / obligasi yang dimiliki
selama setahun, setelah dikurangi pinjaman untuk membeli saham / obligasi
tersebut.
Jadi pada hakikatnya baik saham maupun
obligasi merupakan suatu bentuk penyimpanan
harta yang potensial berkembang. Oleh karenanya masuk kedalam kategori
harta yang wajib dizakati, apabila telah mencapai nisab. Zakatnya sebesar 2,5%
dari nilai kumulatif rill bukan nilai nominal yang tertulis pada saham dan
obligasi tersebut, dan zakat itu dibayarkan setiap tahun.
BAB III
KESIMPULAN
Saham
adalah surat bukti bagi persero dalam perseroan terbatas. Saham merupakan hak
kepemilikan terhadap sejumlah tertentu kekayaan suatu perseroan terbatas (PT).
sedangkan Obligasi adalah surat bukti turut serta dalam pinjaman kepada
perusahaan atau badan pemerintahan. Mengenai zakat saham dan obligasi, ada
ulama yang berpendapat bahwa apabila perusahaan itu merupakan perusahaan murni
tidak melakukan kegiatan dagang, maka tidak wajib zakat kecuali apabila
penghasilannya digabungkan dengan harta kekayaan yang dimiliki. Dan ada pula ulama
yang memandang bahwa saham dan obligasi sama dengan barang dagangan, maka
zakatnya sama dengan zakat barang dagangan yaitu sebesar 2,5%.
DAFTAR PUSTAKA
Mustofa, Imam. 2013. Ijtihad Kontemporer
Menuju Fiqih Kontekstual. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Muhammad Azzam, Abdul Aziz dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqh
Ibadah. Jakarta:
Amzah.
M.
Ali Hasan. 2006 Zakat Dan Infak,
Jakarta: Kencana.
M.
Ali Hasan.1997 Masail Fiqhiyah,
Jakarta: PT Raja Grafindo persada.
Yusuf
Qardawi.2007. Hukum Zakat, Bogor : Litera
Antornusa.
[1]Imam mustofa. 2013. Ijtihad
Kontemporer Menuju Fiqh Kontekstual. Jakarta: PT Grafindo Persada, hlm.
37-39
[2] Ibid; hlm. 39-40.
[3] Ibid; hlm. 41-42.
[4] Ibid; hlm
44-49.
[5] Ibid; 49-52.
[6] Ibid; hlm52-54.
[7] M. Ali Hasan,
Zakat Dan Infak, Kencana, Jakarta, 2006, hl 77
[8] M. Ali Hasan,
Masail Fiqhiyah, PT Raja Grafindo persada, Jakarta, 1997 hl 112
[9] M. Irsan
Nasarudin, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, kencana, Jakarta, 2004, hl
189-192
[10] Op.cit, M. Ali
Hasan, Zakat dan Infak, hl:78
[11] Yusuf Qardawi,
Hukum Zakat, Litera Antornusa, Bogor, 2007, hl:491
[12] Ib.id Yusuf
Qardawi, hl 492
[13] Loc.cit, M. Ali
Hasan, Zakat dan infak, hl:80
[14] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan
Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqh Ibadah. Jakarta: Amza, hlm. 386.
Comments
Post a Comment