BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Persoalan perdagangan valuta asing atau jual beli
mata uang telah menjadi sesuatu yang sangat populer, umum dan hampir dilakukan serta diterima sebagai suatu
transaksi yang dipraktekkan di seluruh dunia. Tidak ada sistem ekonomi suatu
negara mengalami kemajuan tanpa berhubungan dengan perdagangan valuta asing.
Oleh sebab itu selayaknya perdagangan valuta asing diterima dan diadopsi sebagai
suatu kebutuhan dibidang ekonomi dan bermanfaat.
Pada umumnya valuta asing memperdagangkan mata uang.
Valas sendiri memiliki sifat interbank karena waktu perdagangannya secara continue mengikuti waktu perdagangan
dari masing-masing negara. Kurs mata uang tersebut bisa diubah-ubah, tergantung
pada situasi ekonomi negara
masing-masing. Islam mengakui perubahan nilai mata uang asing dari waktu
kewaktu secara sunatullah (mekanisme pasar).
Valuta asing atau dalam Islam disebut ash-sharf yaitu pertukaran dua jenis
barang berharga atau jual beli mata uang dengan uang atau disebut juga valas.
Atau jual beli antara barang sejenis secara tunai. Atau jual beli pertukaran
antara mata uang suatu negara dengan mata uang negara lainnya.[1]
Transaksi didalam Islam tidak boleh adanya tujuan
untuk spekulasi, tetapi jika perdagangan mata uang (ash-sharf) tersebut dilakukan dengan tujuan spekulasi dan merusak
sistem perekonomian suatu negara, maka hal ini sangat bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah yang seharusnya jual beli terbebas dari gharar, riba
dan maysir. Berdasarkan
penjelasan dari masalah diatas, penulis dalam makalah ini akan membahas tentang
konsep dasar mata uang dan jual beli mata uang pada lembaga keuangan syariah
perspektif fikih.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
diatas, maka penulis memfokuskan pembahasan dalam rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana Konsep
Dasar Jual Beli Mata Uang?
2.
Bagaimana Jual
Beli Mata Uang (Ash-Sharf) pada Lembaga Keuangan Syariah?
3.
Bagaimana Jual
Beli Mata Uang (Ash-Sharf)pada Lembaga Keuangan Syariah Prespektif Fikih?
C.
Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk Mengetahui
Konsep Dasar Jual Beli Mata Uang
2.
Untuk Mengetahui
Jual Beli Mata Uang (Ash-Sharf) pada Lembaga Keuangan Syariah
3.
Untuk Mengetahui
Jual Beli Mata Uang (Ash-Sharf) pada Lembaga Keuangan Syariah Prespektif Fikih
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Dasar Mata Uang
1. Definisi
Ash-Sharf
Secara harfiah sharf adalah penambahan, penukaran,
penghindaran, pemalingan, atau jual beli. Adapun secara istilah sharf adalah
perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli
valuta asing (valuta asing), dapat dilakukan baik dengan mata uang yang
sejenis(misalnya rupiah dengan rupiah) maupun yang tidak sejenis (misalnya
rupiah dengan dolar atau sebaliknya).[2]
Pendapat lain mengatakan bahwa sharf adalah transaksi pertukaran antara emas dengan perak atau
pertukaran valuta asing, dimana mata uang dipertukarkan dengan mata uang
domestik atau mata uang asing lainnya.
2. Landasan
Hukum Akad Sharf sebagai Produk Perbankan Syariah
a. Landasan
Syariah
Mengenai Sharf
sebagai salah satu kegiatan usaha bank disektor jasa memiliki landasan
syariah yang terdapat dalam hadis nabi, yang artinya :[3]
“ jual beli emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma,
anggur dengan anggur, (apabila) satu jenis (harus) sama ( kualitas dan
kuantitasnya dan dilakukan) secara tunai. Apabila jenis berbeda, maka juallah
sesuai dengan kehendakmu dengan syarat secara tunai’.
Hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar juga
menjadi dasar hukum dari kebolehan akad sharf,
yang artinya :
“Jangan kamu
memperjualbelikan emas dengan emas dan perak dengan perak, kecuali sejenis, dan
jangan pula kamu perjualbelikan perak dengan emas yang salah satunya ghaib
(tidak ada ditempat) dan yang lainnya ada. (H.R. Jamaah).
b. Landasan
Hukum Positif
Dalam pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa selain melakukan
kegiatan usaha sebagaimna dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Umum Syariah
dapat pula melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah.[4]
Keberadaan sharf sebagai produk dibidang jasa telah
mendapatkan landasan hukumnya melalui fatwa No. 28/DSN-MUI/III/2002 tentang
jual beli mata uang (Al-Sharf). Substansi fatwa tersebut adalah sebagai berikut ini :[5]
1) Ketentuan
umum
Transasaksi jual beli mata uang pada prinsipnya
boleh dengan ketentuan sebagai berikut :
a) Tidak
untuk spekulasi (untung-untungan)
b) Ada
kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
c) Apabila
transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, nilainya harus sama dan secara
tunai (at-taqabudh).
d) Apabila
berlainan jenis, harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada
saat transaksi dan secara tunai.
2) Jenis-jenis
transaksi valuta asing
a) Transaksi
SPOT, yakni traksaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan
pada saat itu (over the counter) atau
penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah
boleh karena dianggap tunai. Sedangkan dalam waktu dua hari dianggap sebagai
proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi
internasional.
b) Transaksi
FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan
pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 X 24
jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram karena harga yang digunakan
adalah harga yang dijanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan dikemudian
hari, padahal pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang
disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan
yang tidak dapat dihindari (lil-hajah).
c) Transaksi
SWAP, yaitu suatu kontrak pembelian dan penjualan valas dengan harga spot yang
dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga
forward. Hukumnya haram karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
d) Transaksi
OPTION, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk
menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga
dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram karena mengandung
unsur maisir (spekulasi).
3) Penetapan
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan
ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.[6]
Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional No.
28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang (Al-Sharf) diatas, dapat
disimpulkan bahwa dari beberapa tipe jenis transaksi hanya tipe transaksi spot
yang diperbolehkan, sedangkan untuk tipe transaksi forward, swap, dan option
tidak diperbolehkan karena tidak dilakukan secara tunai dan mengandung unsur
maysir (spekulasi).
3.
Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun
transaksi sharf terdiri atas :[7]
a.
Pelaku, terdiri dari pembeli dan penjual.
b.
Objek akad berupa mata uang.
c.
Ijab qobul/serah terima.
Ketentuan
syariah, yaitu :[8]
a.
Pelaku,
harus cakap hukum dan baliq
b.
Objek
akad
1)
Nilai
tukar atau kurs mata uang telah di ketahui oleh kedua belah pihak, misalnya $1=
Rp9.000
2)
Valuta yang diperjualbelikan telah
dikuasai, baik oleh pembeli maupun penjual, sebelum keduanya terpisah. Penguasaan bisa berbentuk material maupun hukum.
Penguasaan secara material misalnya pembeli langsung menerima dolar Amerika
Serikat yang dibeli dan penjual langsung menerima uang rupiah. Adapun
penguasaan secara hukum, misalnya pembayaran dengan menggunakan cek.
Apabila kedua nya berpisah sebelum
menguasai masing-masing uang penukaran berdasarkan nilai tukar yang
diperjualbelikan, maka akadnya batal karena syarat penguasaan terhadap objek
transaksi sharf itu tidak terpenuhi.
3)
Apabila
mata uang atau valuta yang diperjualbelikan itu dari jenis uang yang sama, maka
jual beli mata uang itu harus dilakukan dalam kuantitas yang sama, sekalipun
model dari mata uang itu berbeda. Misalnya, antara mata uang rupiah lembaran Rp
50.000 di tukar dengan mata uang rupiah lembaran Rp 5.000 sebanyak 10 lembar
4)
Dalam
akad sharf tidak boleh ada hak khiyar syarat bagi pembeli. Hak yang dimaksud
khiyar syarat adalah hak pilih bagi pembeli untuk dapat melanjutkan atau tidak
mlanjutkan jual beli mata uang tersebut setelah akadnya selesai dan syarat
tersebut diperjanjikan ketika transaksi jual beli berlangsung. Alasan tidak di
perbolehkannya khiyar syarat adalah untuk menghindari adanya
ketidakpastian/gharar
5)
Dalam
akad sharf tidak boleh terdapat tenggang waktu antara penyerahan mata uang yang
saling dipertukarkan, karena sharf dikatakan sah apabila penguasaan objek akad
dilakukan secara tunai atau dalam kurun waktu 2 x 24 jam (harus dilakukan
seketika itu juga dan tidak ada boleh diutang) dan perbuatan saling menyerahkan
itu harus telah berlangsung sebelum kedua belah pihak yang melakukan jual beli
valuta itu berpisah.
c.
Ijab
kabul: pernyataan ekpresi dan saling ridha/rela diantara pihak-pihak pelaku
akad yang dilakukan secara verbal, tertulis melalui korespodensi atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
4. Macam-
macam Mata Uang
Uang yang
dijadikan sebagai alat untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari terbagi
dalam berbagai macam. Pembagian ini didasarkan kepada berbagai maksud dan
tujuan penggunaanya sesuai dengan keperluan berbagai pihak yang membutuhkan.
Jenis-jenis uang berkembang sesuai dengan perkembangan zaman baik perkembangan
nilai intrinsiknya, nominalnya maupun fungsi uang itusendiri.
Adapun
macam-macam uang yang dapat dilihat dari berbagai sisi adalah sebagai berikut.[9]
a. Berdasarkan
bahan
Jika dilihat dari bahan untuk membuat uang maka
jenis uang uang terdiri dari dua macam, yaitu :
1) Uang
logam, merupakan uang dalam bentuk koin yang terbuat dari logam, baik dari
alumunium, kupronikel, bronze, emas, perak atau perunggu dan bahan lainnya.
Biasanya uang yang terbuat dari logam dengan nominal yang kecil.
2) Uang
kertas, merupakan uang yang bahannya terbuat dari kertas atau bahan lainnya.
Uang dari bahan kertas biasanya dalam nominal yang besar sehingga mudah dibawa
untuk keperluan sehari-hari. Uang jenis ini terbuat dari kertas yang
berkualitas tinggi, yaitu tahan terhadap air, tidak mudah robek dan luntur.
b. Berdasarkan
Nilai
Jenis uang ini dilihat dari nilai
yang terkandung pada uang tersebut, apakah nilai intrinsiknya (bahan uang) atau
bahan nominalnya (nilai yang tertera dalam uang tersebut). Uang jenis ini
terbagi menjadi dua jenis, yaitu :
1) Bernilai
penuh (full bodied money), merupakan
uang yang nilai intrinsiknya sama dengan nominalnya, sebagai contoh uang logam,
dimana nilai bahan untuk membuat uang tersebut sama dengan nominal yang
tertulis diuang.
2) Tidak
bernilai penuh (representatif full bodied
money), merupakan uang yang nilai intrinsiknya lebih kecil dari nilai
nominalnya. Sebagai contoh uang yang terbuat dari kertas. Uang jenis ini serng
disebut uang bertanda atau taken money.
Kadangkala nilai intrinsiknya jauh lebih rendah dari nilai nominalnya yang
terkandung didalamnya.[10]
c. Berdasarkan
Lembaga
Berdasarkan lembaga maksudnya adalah badan atau
lembaga yang menertibkan atau mengeluarkan uang. Jenis uang yang diterbitkan
berdasarkan lembaga terdiri dari :
a) Uang
kartal, merupakan uang yang diterbitkan oleh Bank Sentral baik uang logam
maupun uang kertas;
b)
Uang giral,
merupakan uang yang diterbitkan oleh bank umum seperti cek, bilyet giro, traveller cheque, dan credit card.
Perbedaan
nyata dari kedua jenis uang ini adalah sebagai berikut.
a) Uang
kartal berlaku dan digunakan diseluruh lapisan masyarakat, sedangkan uang giral
hanya digunakan dan berlaku dikalangan masyarakat tertentu saja.
b) Nominal
dalam uang kartal sudah tertera dan terbatas, sedangkan dalam uang giral harus
ditulis lebih dulu sesuai dengan kebutuhan dan nominalnya tidak terbatas.
c) Uang
kartal dijamin oleh pemerintah tertentu, sedangkan uang giral hanya dijamin
oleh bank yang mengeluarkan saja.
d) Uang
kartal ada kepastian pembayaran seperti yang tertera pada nominal uang,
sedangkan uang giral belum ada kepastian pembayaran, hal ini tergantung dari
beberapa hal termasuk lembaga yang mengeluarkannya.
d. Berdasarkan
Kawasan
Uang jenis ini dilihat dari daerah
atau wilayah berlakunya suatu uang. Artinya bisa saja suatu jenis mata uang
hanya berlaku dalam satu wilayah tertentu dan tidak berlaku didaerah lainnya
atau berlaku diseluruh wilayah. Jenis uang berdasarkan kawasan adalah sebagai
berikut:
1) Uang
Lokal, merupakan uang yang berlaku si suatu negara tertentu, seperti Rupiah di
Indonesia atau Ringgit di Malaysia.
2) Uang
Regional, merupakan uang yang berlaku di kawasan tertentu yang lebih luas dari
uang lokal seperti untuk kawasan benua eropa berlaku mata uang tunggal eropa,
yaitu EURO.
3) Uang
Internasional, merupakan uang yang berlaku antar negara seperti US Dollar dan
menjadi standar pembayaran internasional.[11]
5.
Fungsi Uang
Pada awalnya fungsi uang hanyalah sebagai alat guna
memperlancar pertukaran. Namun, seiring dengan perkembangan zaman fungsi uang
pun sudah beralih dari alat tukar ke fungsi yang lebih luas. Uang sekarang ini
telah memiliki berbagai fungsi sehingga benar-benar dapat memberiknan banyak
manfaat bagi pengguna uang. Beragamnya fungsi uang berakibat penggunaan uang
yang semakin penting dan semakin dibutuhkan dalam berbagai kegiatan masyarakat
luas.
Fungsi-fungsi dari uang secara umum yang ada saat ini
adalah sebagai berikut.[12]
a. Alat
tukar-menukar
Dalam hal ini uang digunakan sebagai alat untuk
membeli atau menjual suatu barang atau jasa. Dengan kata lain, uang dapat
dilakukan untuk membayar terhadap barang yang akan dibeli atau diterima sebagai
akibat dari penjualan barang dan jasa. Maksudnya penggunaan uang sebagai alat
tukar dapat dilakukan terhadap segala jenis barang dan jasa yang ditawarkan.
b. Satuan
Hitung
Fungsi uang sebagai satuan hitung menunjukan nilai
dari barang dan jasa yang dijual atau dibeli. Besar kecilnya nilai yang
dijadikan sebagai satuan hitung dalam menentukan harga barang dan jasa secara
mudah. Dengan adanya uang akan mempermudah keseragaman dalam satuan hitung.
c. Penimbunan
Kekayaan
Dengan menyimpan uang berarti kita menyimpan atau
menimbun kekayaan sejumlah uang yang disimpan, karena nilai uang tersebut tidak
akan berubah. Uang yang disimpan menjadi kekayaan dapat berupa uang tunai atau
uang yang disimpan dibank dalam bentuk rekening. Menyimpan atau memegang uang
tunai disamping sebagai penimbun kekayan juga memberikan manfaat lainnya.
Memegang uang tunai biasanya memiliki beberapa tujuan seperti memudahkan
melakukan transaksi, berjaga jaga atau spekulasi. Kemudian dengan menyimpan
uang dibank justru akan menambah kekayaan karena akan memperoleh jasa berupa
bunga.
d. Standar
Pencicilan Utang
Dengan adanya uang akan mempermudah menentukan
standar pencicilan utang piutang secara tepat dan cepat, baik secara tunai
ataupun angsuran, begitu pula dengan adanya uang, secara mudah dapat ditentukan
berapa besar nilai utang piutang yang harus diterima atau dibayar sekarang atau
dimasa yang akan datang.
B.
Jual
Beli Mata Uang (Ash-Sharf) pada Lembaga Keuangan Syariah
Akad sharf dipraktikkan oleh bank syariah dalam
produk jasa berupa tukar menukar mata uang asing dengan mendasarkan pada kurs jual
dan kurs beli suatu mata uang. Pihak bank akan mendapatkan imbalan berupa selisih
antara kurs jual dan kurs beli yang ada, ditambah dengan biaya-biaya administrasi
yang besarnya ditentukan sesuai dengan kebijakan bank yang
bersangkutan. Bank syariah memberikan jasa untuk melakukan transaksi jual beli
mata uang sesuai dengan prinsip-prinsip yang dibenarkan secara syariah.
Teknis
penerapan akad sharf sebagai produk perbankan syariah di bidang jasa
dapat berpedoman pada SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008. Di dalam
SEBI disebutkan bahwa kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pemberian jasa
pertukaran mata uang atas dasar akad sharf, berlaku persyaratan paling
kurang sebagai berikut:
a. Bank dapat bertindak
baik sebagai pihak yang menerima penukaran maupun pihak yang menukarkan uang dari
atau kepada nasabah;
b. Transaksi pertukaran
uang untuk mata uang berlainan jenis (valuta asing) hanya dapat dilakukan dalam
bentuk transaksi spot; dan
c. Dalam hal transaksi
pertukaran uang dilakukan terhadap matauang berlainan jenis dalam kegiatan money
changer, maka transaksi harus dilakukan secara tunai dengan nilai tukar
(kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan.[13]
Aplikasi sharf juga dapat dilihat dalam praktik money changer,
yaitu bank (money changer menawarkan jasa, nasabah dan bank (money
changer) sama-sama menukarkan mata uang (valas) lalu bank mendapatkan fee
dari transaksi tersebut.[14]
Perbankan syariah, sebagai lembaga keuangan yang
mengfasilitasi perdagangan internasional, tidak dapat menghindarkan diri dari keterlibatan pada pasar valuta
asing. Perbankan syariah harus menyusun pedoman kerja
operasional bagi dirinya agar juga mempunyai akses yang luas ke pasar valuta
asing. Disamping itu,
transaksi valuta asing merupakan produk jasa bank kepada nasabahnya untuk memenuhi
kebutuhan valuta asing nasabah, prinsip sharf
dapat diterapkan dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang dibolehkan
tanpa harus terlibat pada mekanisme perdagangan yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah.[15]
Dengan memperhatikan prinsip sharf tersebut, dalam pelaksanaannya bank syariah harus memenuhi beberapa
ketentuan, antara lain sebagai berikut:
a. Pertukaran tersebut
harus dilakukan secara tunai (bai’
naqd), artinya masing-masing pihak harus menerima dan menyerahkan masing-
masing mata uang pada saat yang bersamaan atau dua hari kemudian (dalam transaksi
spot).
b. Motif
pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial yaitu transaksi
perdagangan barang dan jasa antar
bangsa,
bukan dalam rangka spekulasi.
c. Harus dihindari dari
jual beli khiyar atau bersyarat. Misalnya, C setuju membeli barang dari D hari ini,
dengan
syarat D harus membelinya kembali pada tanggal
tertentu pada masa yang akan datang.
d. Transaksi
berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan
valuta asing yang dipertukarkan.
e. Tidak dibenarkan
menjual barang yang belum dikuasai atau tanpa hak kepemilikan (bai’ fudhuli).[16]
Dengan memperhatikan beberapa ketentuan di atas, maka beberapa
perilaku perdagangan valuta asing yang berlangsung dewasa ini di pasar valuta asing
konvensional harus dihindari, seperti forward, swap, dan option trading yang di
dalamnya mengandung unsur gharar, maisir, dan riba. Oleh karena itu, transaksi valuta
asing yang diperkenankan untuk dijalankan di bank syariah adalah transaksi valuta
asing dengan tunai atau penyerahan dua hari kemudian dalam hal transaksi spot.
Penukaran valuta asing merupakan jasa yang diberikan
bank syariah untuk membeli atau menjual valuta asing yang sama (single currency) maupun berbeda (multi currency), yang hendak ditukarkan atau
dihendaki oleh nasabah.
Tujuan dan manfaat penukaran valuta asing (sharf) bagi bank adalah menyediakan mata
uang (valuta asing) yang dibutuhkan nasabah, mendapatkan keuntungan dari selisih
kurs dalam hal penukaran mata uang yang beredar. Dan bagi nasabah adalah nasabah
memperoleh mata uang yang diperlukan untuk bertransaksi.
C.
Jual
Beli Mata Uang (Ash-Sharf) Lembaga Keuangan Syariah Prespektif Fikih
Menurut
Istilah Syara‟, al-Sharf adalah jual
beli satu mata uang dengan mata uang yang lain baik mata uang tersebut satu
jenis atau berlainan jenis. Jual beli mata uang berdasarkan pada QS. 2: 275
tentang kebolehan jual beli;
Allah Menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba, dan hadits tentang
jual-beli mata uang (al-Sharf) di
antaranya mendasarkan pada hadits riwayat Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa‟i
dan Ibnu Majah dari Ubadah bin Shamit tentang tukar menukar emas dan perak.
Syarat-syarat
jual beli mata uang (al-Sharf )
adalah sebagai berikut:
1.
Serah terima
dalam majlis kontrak
2.
Jika dengan mata
uang yg sama, jumlahnya harus sama
3.
Tidak boleh ada
khiyar syarat
4. Tidak
boleh ditangguhkan, masing masing pihak yang bertransaksi tidak boleh
menangguhkan penyerahan barang untuk jangka waktu tertentu karena barang tersebut harus diterima dan
jatuh sebagai hak milik masing masing pembeli sebelum mereka berpisah.[17]
Imam Hanafi dan Imam Syafi‟I berpendapat bahwa jual beli
mata uang terjadi secara tunai selama kedua belah pihak belum berpisah, baik penerimaannya
itu segera atau lambat. Jadi penerimaannya bisa dengan perjanjian waktu tertentu.
Berbeda dengan Imam Malik yang berpendapat bahwa jika penerimaan pada majlis terlambat,
maka jual beli itu batal, meski kedua belah pihak belum berpisah. Karena Ia tidak
menyukai janji-janji didalamnya.
Sementara itu ulama kontemporer, seperti Yusuf
al-Qaradhawi, dalam hal memperjualbelikan mata valuta asing yang tidak dilakukan
secara tunai, mengatakan tidak diperbolehkan. Selanjutnya beliau mengatakan tidak
sah jual beli uang dengan sistem penangguhan, bahkan harus dilakukan secara tunai
di tempat transaksi. Hanya saja yang menjadi kriteria tunainya sesuatu itu menurut
ukurannya sendiri-sendiri. Dalam hal ini menurut Yusuf al-Qaradhawi, syara‟
telah menyerahkan ukuran tersebut kepada adat kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat.
Walaupun demikian, realita tunai ini juga mengikuti hukum darurat yang diukur sesuai
dengan ukurannya. Justru itu umat Islam tidak diperkenankan untuk menjual apa
yang dibelinya kecuali setelah diterimanya terlebih dahulu barang itu menurut adat
kebiasaan yang berlaku.[18]
Berdasarkan
uraian diatas, bahwa semua
pendapat sepakat dibolehkannya jual beli mata uang dengan syarat-syarat khusus,
yaitu: tunai dan kadarnya sama. Perbedaannya hanya terletak pada interpretasi batasan
istilah tunai dalam transaksi. Syafi‟I dan Hanafi berpendapat bahwa tenggang waktu
bisa diundur selama kedua belah pihak belum meninggalkan majlis, sedangkan
Malik tidak ada tenggang waktu antara terjadinya akad dengan terjadinya serah terima
barang. Dan pada prinsipnya praktek jual beli mata uang di
lembaga keuagan syariah seperti al-sharf
diperbolehkan dalam Islam. Dari beberapa hadist dapat dijelaskan sebenarnya
praktek as-sharf diperbolehkan jika
dilakukan atas dasar kerelaan antara kedua belah pihak dan secara tunai, serta
tidak boleh adanya penambahan antara suatau barang yang sejenis karena
kelebihan tersebut dinamakan riba.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang telah diuraikan pada makalah ini, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa jual beli mata uang (ash-sharf)
adalah pertukaran antara mata uang dengan uang atau disebut juga valas.
Pertukaran ini dapat berupa uang yang sejenis maupun dengan mata uang yang
lain, namun harus dengan jumlah atau nilai yang sama serta harus sesuai dengan
rukun dan syarat yang telah ditentukan. Keberadaan sharf sebagai produk
dibidang jasa telah mendapatkan landasan hukumnya melalui fatwa No.
28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang (Al-Sharf). Jenis-jenis transaksi valuta asing ini adalah transaksi
spot, transaksi forward, transaksi swap, dan transaksi option.
Akad sharf yang dipraktikkan di perbankan
syariah adalah berupa produk jasa dengan tukar menukar mata uang asing yang
mendasarkan pada kurs jual dan kurs beli suatu mata uang tersebut. Bank syariah
melakukan jasa untuk transaksi tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip yang
dibenarkan secara syariah. Dimana menurut para ulama fikih dari beberapa jenis
transaksi valutas asing yang ada hanya transaksi spot yang diperbolehkan,
karena untuk jenis transaksi forward, swap dan option tidak dilakukan secara
tunai dan mengandung unsur riba maupun spekulasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Ghofar
Anshori.Perbankan Syariah di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009.
Amir Machmud dan
Rukmana. Bank Syariah. Jakarta: PT. GELORA
AKSARA PRATAMA, 2010.
Heri Sudarsono.Bank dan Lembaga Keuangan Syariah.
Yogyakarta: EKONISIA Yogyakarta, 2013.
Kasmir.Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.
Jakarta: Rajawali Press, 2014.
Khotibul Umam.Perbankan Syariah: Dasar-dasar dan Dinamika
Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Mardani. FIQH EKONOMI SYARIAH: Fiqh Muamalah.
Jakarta, Kencana 2013.
Muhammad Syafi’i
Antonio.Bank Syariah: Dari Teori ke
Praktik. Jakarta: Gema Insani, 2001.
M. Nur Rianto Al Arif, Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah. Bandung:ALFABETA, 2012.
Syaparuddin,
”Telaah Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf)”
dalam AL-BAYYINAH Jurnal Hukum dan Kesyari’ahan, (Sulawesi, STAIN Watampone),
Vol.IV Tahun 2011, h. 13 dalam e-jurnal.stainwatampone.ac.id diunduh pada 22
Februari 2018.
[2]Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah,
(Yogyakarta:EKONISIA Yogyakarta, 2013), h. 87.
[3]Abdul Ghofar Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia,
(Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2009), h. 179.
[13]Khotibul Umam, Perbankan Syariah: Dasar-dasar dan Dinamika
Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h, 182.
[15] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik,
(Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 196.
[17]Syaparuddin, ”Telaah Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Jual Beli
Mata Uang (Al-Sharf)” dalam AL-BAYYINAH Jurnal Hukum dan Kesyari’ahan,
(Sulawesi:STAIN Watampone), Vol.IV Tahun 2011, h. 12 dalam
e-jurnal.stainwatampone.ac.id diunduh pada 22 Februari 2018.
[18]Syaparuddin,
”Telaah Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf)”
dalam AL-BAYYINAH Jurnal Hukum dan Kesyari’ahan, (Sulawesi:STAIN Watampone),
Vol.IV Tahun 2011, h. 13 dalam e-jurnal.stainwatampone.ac.id diunduh pada 22
Februari 2018.
Comments
Post a Comment