BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Musyarakah
mutanaqisah merupakan produk turunan dari akad musyarakah.
Musyarakah Mutanaqisah adalah bentuk akad kerjasama dua pihak atau lebih dalam
kepemilikan suatu aset, yang mana ketika akad ini telah berlangsung aset salah
satu kongsi dari keduanya akan berpindah ke tangan kongsi yang satunya, dengan
perpindahan dilakukan melalui mekanisme pembayaran secara bertahap. Bentuk
kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak
lain.
Produk Musyarakah
Mutanaqishah (MMQ) telah diterapkan oleh beberapa Bank Syariah yang meliputi Bank
Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat untuk memiliki suatu aset tertentu melalui pembiayaan berbasis
kemitraan bagi hasil antara pihak Nasabah dan Bank yang pada akhir perjanjian
seluruh aset yang dibiayai tersebut menjadi milik Nasabah. Contoh dalam
prakteknya, ketika Bank dan Nasabah ingin memiliki suatu aset akhirnya mereka
bekerjasama dalam modal dengan persentase yang telah terkontrak. Kemudian
Nasabah melakukan pengangsuran dana menurut modal kepemilikan aset yang
dimiliki oleh bank. Maka terjadilah perpindahan kepemilikan aset dari bank
kepada Nasabah menurut jumlah dana yang telah diangsur kepada Bank. Sampai
akhirnya semua aset kepemilikan bank telah berpindah ke tangan ke
Nasabah.Produk Musyarakah Mutanaqishah dapat diaplikasikan bentuk pembiayaan
yang bersifat produktif maupun konsumtif. Jenis pembiayaan ini dapat
diaplikasikan untuk tujuan pembiayaan kepemilikan aset seperti rumah maupun
kendaraan baik baru maupun lama.[1]
Dari sini kita dapat memahami bahwa Musyarakah
Mutanaqishah adalah akad kerajasama antara dua pihak (Bank dengan Nasabah),
dalam kepemilikan suatu asset, yang mana ketika akad ini telah berlangsung
asset salah satu kongsi dari keduanya akan berpindah ke tangan kongsi yang satunya,
dengan perpindahan dilakukan melalui mekanisme pembayaran secara bertahap.
Produk Musyarakah Mutanaqishah telah diterapkan
oleh beberapa Bank Syariah yang meliputi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha
Syariah (UUS) dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat untuk memiliki suatu aset tertentu melalui
pembiayaan berbasis kemitraan bagi hasil antara pihak Nasabah dan Bank yang
pada akhir perjanjian seluruh aset yang dibiayai tersebut menjadi milik
Nasabah. Pengalihan kepemilikan aset tersebut melalui cara Nasabah mengambil
alih porsi modal (hishshah) dari Bank secara angsuran berdasarkan suatu
metode pembayaran tertentu selama jangka waktu kontrak yang disepakati bersama.
Produk Musyarakah Mutanaqishah dapat dilakukan untuk tujuan pembiayaan
kepemilikan aset seperti rumah maupun kendaraan baik baru maupun lama. Struktur
produk berbasis akad Musyarakah Mutanaqishah dibuat secara multiakad (hybrid)
yang selain akad Musyarakah terdiri atas akad ijarah (leasing), ijarah
mawsufah fi zimmah (advance/forward lease), bai al
musawamah (penjualan) ataupun akad istisna (manufaktur)
B.
Dasar Hukum
Lembaga
perbankan adalah highly regulated industry, apalagi perbankan
syariah selain terikat oleh rambu-rambu hukum positif sistem operasional bank
syariah juga terikat erat dengan hukum Allah, yang pelanggarannya berakibat
kepada kemadharatan di dunia dan akherat. Oleh karena uniknya
peraturan yang memagari seluruh transaksi perbankan syariah tersebut, dalam
kajian ini akan dicoba dibahas mengenai pelaksanaan akad terutama musyarakah
mutanaqishah yang dapat dilaksanakan di bank syariah.
Sandaran
hukum Islam pada pembiayaan musyarakah mutanaqishah, pada saat ini, dapat
disandarkan pada akad musyarakah (kemitraan) dan ijarah (sewa).
Karena di dalam akad musyarakah mutanaqishah terdapat unsur syirkah dan
unsur ijarah.[2]
Dalil hukum musyarakah adalah:
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an Surat Shad [38], ayat 24 :
"…Dan
sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari
mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan
mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini…."
Al-Qur’an
Surat al-Ma’idah [5], Ayat 1:
Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
2.
Hadis
Hadis riwayat Abu Daud dari Abu
Hurairah, Rasulullah SAW berkata:
“Allah swt.
berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama
salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak
telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh
al-Hakim, dari Abu Hurairah).
Hadis Nabi
riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”
3.
Fatwa DSN –
MUI
Fatwa DSN
yang mengatur akad MMQ ialah Fatwa DSN No. 73/DSN-MUI/XII/2008 tentang Musyarakah
Mutanaqishah, Keputusan Dewan Syariah Nasional No.01/DSN-MUI/X/2013 tentang
Pedoman Implementasi Musyarakah Mutanaqishah dalam Produk Pembiayaan,
Pernyataan Kesesuian Syariah DSN-MUI No.U-257/DSN-MUI/VIII/2014 tentang
Penjelasan butir 6 huruf a dalam Keputusan DSN No.01/DSN-MUI/X/2013 tentang
Pedoman Implementasi Musyarakah Mutanaqishah dalam produk pembiayaan.
Lembaga
Keuangan Syariah dapat mengambil fatwa tersebut untuk mengembangkan produknya.
Sehingga kesenjangan akad pada pembiyaan tersebut dapat terselesaikan dan keterbatasan-keterbatasan
yang ada pada akad murabahah dapat ditutupi oleh akad Musaraqah Mutanaqisah
ini. Kemudian, dampak dari variasi akad akan membuat nasabah memilih sesuai
dengan keinginan, kemampuan dan kebutuhannya.
C.
Syarat dan Rukun Musyarakah Muntanaqishah
1.
Rukun-rukun Musyarakah Muntanaqishah :
a.
Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
b.
Objek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh),
c.
Shighah, yaitu Ijab dan Qabul
2. Syarat-syarat Musyarakah
Muntanaqishah :
a.
Syarat akad
Ada empat syarat akad:
1)
Syarat berlakunya akad (In’iqod)
2)
Syarat sahnya akad (shihah)
3)
Syarat terealisasikannya akad (Nafadz)
4)
Syarat Lazim
b. Pembagian proporsi
keuntungan. Dalam pembagian proporsi keuntungan harus dipenuhi hal-hal berikut:
1) Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada para mitra usaha harus disepakati
di awal kontrak/ akad. Jika proporsi belum ditetapkan , akad tidak sah menurut
syariah.
2) Rasio /nisbah
keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus ditetapkan sesuai dengan
keuntungan nyata yang diperoleh dari usaha, dan tidak ditetapkan berdasarkan
modal yang disertakan. Tidak diperbolehkan untuk menetapkan lumsum untuk mitra
tertentu, atau tingkat keuntungan tertentu yang dikaitkan dengan modal
investasinya.
c.
Penentuan proporsi keuntungan. Dalam menentukan proporsi keuntungan
terdapat beberapa pendapat dari para ahli hukum Islam sebagai berikut:
1) Imam malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa proporsi keuntungan dibagi di
antara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad sesuai
dengan proporsi modal yang disertakan.
2) Imam Ahmad berpendapat
bahwa proporsi keuntungan dapat pula berbeda dari proporsi modal yang
disertakan.
3) Imam Abu Hanifah, yang
dapat dikatakan sebagai pendapat tengah-tengah, berpendapat bahwa proporsi
keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal..
d. Pembagian kerugian.
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa setiap mitra menanggung kerugian sesuai
dengan porsi investasinya.
e.
Sifat modal. Sebagian besar ahli hukum Islam berpendapat bahwa modal yang
diinvestasikan oleh setiap mitra harus dalam bentuk modal likuid.
f.
Manajemen musyarakah. Prinsip normal dari musyarakah bahwa setiap mitra
mempunyai hak untuk ikut serta dalam manajemen dan bekerja untuk usaha patungan
ini. Namun demikian, para mitra dapat pula sepakat bahwa manajemen perusahaan
akan di dilakukan oleh salah satu dari mereka, dan mitra lain tidak akan
menjadi bagian manajemen dari musyarakah.
g. Penghentian musyarakah
1) Setiap mitra memiliki hak untuk mengakhiri musyarakah kapan saja setelah
menyampaikan pemberitahuan kepada mitra lain mengenai hal ini.
2) Jika salah seorang
mitra meninggal pada saat musyarakah masih berjalan, kontrak dengan almarhum
tetap berakhir/dihentikan.
3) Jika salah seorang mitra menjadi hilang ingatan atau menjadi tidak mampu
melakukan transaksi komersial, maka kontrak musyarakah berhasil.
h. Penghentian musyarakah tanpa menutup usaha. Jika salah seorang mitra ingin
mengakhiri musyarakah sedangkan mitra lain ingin tetap meneruskan usaha, maka
hal ini dapat dilakukan dengan kesepakatan bersama. [3]
D.
Aplikasi Musyarakah Muntanaqishah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
Musyarakah Muntanaqishah di dalam Lembaga keuangan Syariah menurut Muhammad
Syafii Antonio di aplikasikan kepada dua produk perbankan syariah, dua produk
itu adalah pembiyaan proyek dan modal ventura. Praktik pembiyaan oleh bank
dengan akad musyarakah, pihak bank memberi pembiyaan kepada pihak pengelolah
proyek setelah proyek selesai, maka pihak pengelolah proyek mengembalikan
pinjaman kepada pihak bank dan juga membagi hasil dengan pihak bank sesuai
dengan kesepakatan. Ada pun praktik bank memberi modal kepada pihak pengelolah
perusahaan dan pihak perusahaan, mengelolah modal tersebut dengan batas waktu
yang disepakati dan setelah jatuh tempo pihak perusaan mengembalikan modal dan
membagi hasil dari pengelolahan tersebut.[4]
Menurut fatwa DSN-MUl No. 01IDSN-MUI/X/2013 tentang pedoman implementasi musyarakah
mutanaqishah dalam produk pembiayaan. Disebutkan bahwa Musyarakah mutanaqishah
sebagaiamana berikut:
a. Modal usaha dari para pihak (Bank Syariah Lembaga
Keuangan Syariah [LKS] dan nasabah) harus dinyatakan dalam bentuk hishshah. Terhadap
modal usaha tersebut dilakukan tajzi'atul hishshah; yaitu modal usaha
dicatat sebagai hishshah (portion) yang terbagi menjadi unit-unit hishshah.
Misalnya modal usaha syirkah dari bank sebesar 80 juta rupiah dan dari
nasabah sebesar 20 juta rupiah (modal usaha syirkah adalah 100 juta rupiah).
Apabila setiap unit hishshah disepakati bernilai 1 juta rupiah; maka
modal usaha syirkah adalah 100 unit hishshah.
b. Modal usaha
yang telah dinyatakan dalam hishshah tersebut tidak boleh berkurang
selama akad berlaku secara efektif.
Sesuai dengan contoh pada huruf a, maka modal usaha
syirkah dari awal sampai akhir adalah 100 juta rupiah (l00 unit hishshah).
c. Adanya wa
'd (janji).
Bank Syariah/LKS berjanji untuk mengalihkan seluruh hishshahnya
secara komersial kepada nasabah dengan bertahap;
d. Adanya
pengalihan unit hishshah
Setiap penyetoran uang oleh nasabah kepada Bank
Syariah/LKS, maka nilai yang jumlahnya sama dengan nilai unit hishshah, secara
syariah dinyatakan sebagai pengalihan unit hishshah Bank Syariah/LKS
secara komersial (naqlul hishshah bil 'iwadh), sedangkan nilai yang
jumlahnya lebih dari nilai unit
Pembiayaan
dengan Musyarakah Mutanaqisah ini diberikan kepada perorangan atau
perusahaan yang membutuhkan modal untuk mengembangkan usahanya dengan cara bagi
hasil. Sedangkan usaha yang dimaksud usaha yang tidak bertentangan dengan
Syariah. Tidak ada batasan modal harus pada usaha jenis apa, syariat islam
memperbolehkan setiap usaha yang dilakukan oleh manusia asal tidak dalam
kemaksiatan berupa perjudian, minuman keras, penipuan dan lain sebagainya.
Dalam
pembiayaan dengan cara musyarakah di bank syariah atau lembaga keuangan syariah
yang lain juga diberlakukan ketentuan denda jika si nasabah memperlambat
pembayaran atau angsuran, sebagaimana yang berlaku di lembaga keuangan lain ada
denda keterlambatan dan denda kerugian dimana kedua tersebut harus disesuaikan
dengan acuan fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004
tentang Ganti Rugi (ta'widh).
E.
Aplikasi Musyarakah Muntanaqishah dalam Perspektif Fiqh
Pada
prinsipnya di dalam hukum fikih, akad syirkah/ Musyarakah tidak mengenal denda untuk para pihak yang
berserikat. Para pihak yang berserikat dalam hukum fikih dituntut untuk menjadi
kuawasa (wali) dari pihak yang lain, dan memegang kepercayaan atau amanah pada
pihak lain, sehingga para pihak yang berserikat tidak boleh merugikan partner
serikatnya, sehingga keduanya tidak saling berhianat. Dan prinsip keuntungan
yang disepakati tidak menguntungkan salah satu pihak.
Dalam fikih Syirkah
dilandaskan pada ayat qur’an surat Anisa’ ayat 12:
فَهُمْ شُرَكَاءُ فِى الثُّلُثِ...............
…Maka mereka bersekutu
dalam sepertiga…..(Q.S. An nisa.Ayat 12)
Prinsip
utama dalam Syirkah dalam hukum fikih adalah saling memegang amanah, baik dalam
penglolahan, penggunaan modal dan pembagian laba. Penggunaan modal harus
disepakati kedua belah pihak atau lebih dalam berseikat, dan pembagian hasil
juga harus mendapat kesepakatan dari awal dimulainya perseriktan, sehingga
salah satu dari dua belah pihak atau lebih yang melakukan perserikatan tidak
merasa dirugikan dan tidak merasa terkhianati. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah
SWT menjadi pihak ketiga bagi orang yang melakukan perserikatan.
اَنَا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ
اَحَدَهُمَا صَاحِبَهُ, فَاِنْ خَانَ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ خَرَجْتُ مِنْ
بَيْنِهِمَا
Saya(Allah)
menjadi pihak ketiga bagi dua orang yang berserikat selagi salah satu dari
mereka tidak berkhianat kepada rekanannya, kemudian jika salah satu dari mereka
mengkhianati rekanannya saya (Allah) akan keluar dari perserikatan keduanya. (Abu Dawud
dan Hakim)
Secara garis
besar Sayid Sabiq membagi bentuk-bentuk syirkah dari sudut
pandang menggunakan akad atau tidaknya terbagi dalam dua bentuk,
Pertama Syirkah Amlak, Syirkah Amlak adalah kepemilikan bagi lebih dari satu orang
terhadap suatu benda atau modal tanpa melalui akad. Dalam Syirkah Amlak melihat
dari segi cara mendapatkanya ada dua macam pula, Pertama, Syirkah Amlak Iktiyari, Syirkah ini
adalah bentuk perserikatan
yang timbul dari usaha kedua orang yang berserikat, hal ini seperti
perserikatan orang saling memberi satu sama lainnya dan orang yang saling
berwasiat satu sama lainnya. Kedua,
Syirakah Amlak Ijabari, Syirkah Ini adalah perserikatan yang
terjadi pada dua orang atau lebih dengan tanpa usaha mereka, hal ini seperti
perserikatan dalam kewarisan.
Kedua adalah
Syirkah Ukud, berbeda dengan Syirkah Amlak, Syirkah Ukud adalah bentuk Syirkah
yang dalam praktik perserikatanya harus ditandai dengan perjanjian-perjanjian
atau akad antara para pihak yang berserikat. Lebih lanjut Wahbah Zuhaily
menukil definisi syirkah ukud dari ulama Hanafiyah, bahwa Syirkah Ukud adalah sebuah
ungkapan akad (perjanjian) yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih pada harta benda (modal) dan laba modal
tersebut.
Ada
perbedaan pandangan dalam pembagian syirkah ukud, menurut ulama Hambali bentuk Syirkah
Ukud sebagaimana dijelaskan Wahbah Juhaily ada lima bagian, yaitu, Syirkah
Inan, Syirkah Mufawadhoh, Syirkah Abadan, Syirkah Wujuh
dan Syirkah Mudhorobah. Adapu menurut
Sayid Sabiq , Malikiya dan Syafi’iyah mengatakan bahwa Syirkah Mudhorabah bukanlah termasuk bagian dari Syirkah Ukud, dan Mudhorabah
dibahas secara terpisah dari praktik Syirkah.[5]
Adapun
penjelasan tentang beberapa bentuk syirkah ukud di atas sebgaiamana berikut:
a. Syirkah Inan
adalah perserikatan antara dua orang atau lebih
terhadap harta-harta mereka untuk diperdagangkan, sedangkan laba yang didapat
oleh para pihak dibagi kepada para pihak yang berserikat. Dalam Syirkah ini
tidak disaratkan adanya modal yang sama antara para pihak, dan tidak disaratkan
kesamaan jinis usaha dalam pengembangan modal. Maka diperkenankan dalam syirkah
ini perbedaan modal, artinya bisa saja salah satu pihak lebih banyak modalnya
dari pihak yang lain. Karena boleh ada perbedaan modal bagi setiap para pihak
serikat, maka ada perbedaan laba yang diterimanya yang disesuaikan dengan
modal.
b. Syirkah
Mufawadho adalah perserikatan dengan perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk berserikat pada
satu usaha dengan syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat itu meliputi; Kesamaan modal, Kesamaan penggunaan
modal, Kesamaan agama (antara para pihak berserikat) dan antara para pihak yang
berserikat saling menanggung satu sama lainnya.
Dengan
syarat-syarat di atas, maka salah satu para pihak tidak boleh memperbanyak
modal dari yang lain. Jika salah satu dari para pihak lebih banyak modalnya
dari yang lain maka batal akad syirkahnya. Para pihak juga boleh berbeda Agama
dan tidak boleh salah satu dari para pihak ada yang masih anak-anak dan yang
lain sudah dewasa, jika salah satu para pihak ada yang dewasa dan yang lain masih
anak-anak, maka akad syirkah ini tidak sah.
Syirkah ini menuntut bagi para pihak untuk saling menjadi kuasa bagi
yang lainnya, dan menjadi penanggung dari yang lainnya.
c.
Syirkah Wujuh adalah
seperti dua orang atau lebih yang membeli sesuatu barang dari seseorang dengan
tanpa modal yang mereka punya karena kepercayaan terhadap keahlian mereka untuk
berdagang.
Menurut Abu
Bakar Al kasani yang dikutip dalam buku Muhammad Syafii Antonio, Syirkah ini
adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise
baik serta ahli dalam berbisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu
perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam
keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan
oleh tiap mitra. Jenis al musyarakah ini tidak memerlukan modal karena
pembelian secara kredit berdasar jaminan tersebut. Karenanya kontrak ini pun
lazim disebut sebagai musyarakah piutang. Syirkah Wujuh juga sama dengan
Syirkah ala Dzmim
d.
Syirkah Abdan, adalah Syirkah
yang dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak berserikat atau lebih pada
sebuah usaha dari berbagai macam usaha yang dimana ujrah (gaji) yang dihasilkan
dari pekerjaan ini menjadi milik bersama para pihak sesuai kesepakatan awal.
Syirkah abdan memiliki istilah lain di sebagian kitab karya ahli fikih Wahbah
Ajuhaily Contohnya menyamakan istilah Syirkah Abdan dengan Syirkah
‘Amal.
e.
Syirkah Mudharabah, Syirkah ini menurut
Ahmad Syarbasy yang juga dinukil oleh Muhammad Syafii Antonio adalah akad kerja
sama usaha antara dua belah pihak di
mana pihak pertama (shohibul Mal) menyediakan modal, sedangkan pihak lainnya
mengelolah. Keuntungan usaha secara mudhorobah dibagai menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak. Dan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelolah. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian
penglola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Akad musyarakah
mutanaqishah merupakan akad derivatif dari akad syirkah
‘inan sebagai akad kerjasama bagi hasil. Rukun dan syarat musyarakah
mutanaqishah ditetapkan berdasarkan rukun dan syarat syirkah
‘inan. Salah satu syarat syirkah ‘inan ialah adanya bagi
hasil (nisbah) yang dinyatakan dalam presentasi dan disepakati bersama di awal
akad.
Oleh karena
itu, objek musyarakah
mutanaqishah mesti dimanfaatkan untuk kegiatan komersial. Akad ini
sudah diatur dalam Fatwa DSN No. 73/DSN-MUI/XII/2008 tentang Musyarakah
Mutanaqishah. Lembaga Keuangan Syariah dapat
mengambil fatwa tersebut untuk mengembangkan produknya. Sehingga kesenjangan
akad pada pembiyaan tersebut dapat terselesaikan dan keterbatasan-keterbatasan
yang ada pada akad murabahah dapat ditutupi oleh akad Musaraqah Mutanaqisah
ini. Kemudian, dampak dari variasi akad akan membuat nasabah memilih sesuai
dengan keinginan, kemampuan dan kebutuhannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Antonio,
Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah : Dari Teori Ke Praktek. Jakarta:
Gema Insani
Ascarya,
2013. Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Awaliyah,
Wilda, 2015. Akad Musyarakah Mutanaqisah dalam Kegiatan Perbankan. Depok
Heri
Sudarsono, 2004. Bank dan Lembaga Keuangan SYARIAH, Yogyakarta : P3EI
Muhammad Syfii
Antonio, 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta : Gema Insani
[1]
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan SYARIAH, (Yogyakarta : P3EI, 2004)
[4]
Muhammad Syfii Antonio. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. (Jakarta : Gema
Insani, 2001)
[5] Antonio, Muhammad Syafii. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktek.
(Jakarta: Gema Insani, 2001)
Comments
Post a Comment