BAB I
Pendahuluan
1.1
Latar
Belakang
Secara umum tugas utama bank adalah menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Kemudian dana yang telah terkumpul
tersebut disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman (kredit),
serta memberikan jasa-jasa bank lainnya. Untuk bisa menghimpun dana dari
masyarakat, maka bank memiliki keharusan untuk meyakinkan nasabah bahwa uang
yang mereka titipkan dijamin keamanannya. Dengan demikian, agar bisa memberikan
keamanan kepada para nasabah, maka bank tersebut haruslah likuid.
Kajian mengenai likuiditas di dunia perbankan,
merupakan satu keharusan yang harus dilakukan, baik itu oleh pihak perbankan,
praktisi keuangan, ataupun pihak-pihak ketiga yang berencana menitipkan dananya
di bank. Pentingnya penilaian atas likuiditas suatu bank, merupakan salah satu
cara untuk bisa menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi yang sehat, cukup
sehat, kurang sehat, dan tidak sehat. Salah satu penyebab kebangkrutan suatu
bank adalah karena ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian dari likuiditas ?
2. Apa saja
strategi dan ketentuan likuiditas bank syariah?
3. Apa saja
teori dalam likuiditas bank syariah?
4. Apa
pengertian bantuan likuiditas bank Indonesia?
1.3
Tujuan
1. Mengetahui
arti manajemen likuiditas
2.
Mengetahui strategi bank syariah
3. Mengetahui teori-teori
likuiditas dalam syariah
4. Mengetahui bantuan
likuiditas bank Indonesia
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Manajemen Likuiditas
Pengertian likuiditas pada
umumnya didefinisikan sebagai kepemilikian sumber dana yang memadai untuk
memenuhi seluruh kebutuhan kewajiban yang akan jatuh tempo. Atau dengan kata
lain kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban yang jatuh
tempo tepat pada waktunya.
Sedangkan
manajemen likuiditas sendiri memiliki banyak pengertian,
beberapa diantaranya adalah menurut :
1. Duane B Graddy : “ Manajemen
likuiditas melibatkan perkiraan permintaan dana oleh masyarakat dan penyediaan
cadangan untuk memenuhi semua kebutuhan ”
2. Oliver G Wood : “ Manajemen
likuiditas melibatkan perkiraan kebutuhan dan penyediaan kas secara terus
menerus baik kebutuhan jangka pendek atau musiman atau kebutuhan jangka panjang
”.[1]
Manajemen likuidits bank Syariah diartikan sebagai suatu program
pengendalian alat-alat likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua
kewajiban bank yang segera harus di bayar.
Tujuan
manajemen likuiditas adalah :
1.
Mencapai cadangan yang dibutuhkan yang telah ditetapkan oleh bank sentral
karena kalau tidak dipenuhi akan kena pinalti dari Bank
sentral.
2.
Memperkecil dana yang menganggur karena kalau banyak dana yang menganggur
akan mengurangi profitabilitas bank.
3.
Mencapai likuiditas yang aman untuk menjaga proyeksi cashflow dalam
kondisi yang sangat mendesak misalnya penarikan dana oleh nasabah, pengambilan
pinjaman.
4.
Menjalankan
transaksi bisnisnya sehari-hari
5.
Memenuhi
kebutuhan dana mendesak
6.
Memuaskan
permintaan nasabah akan pembiayaan
7.
Memberikan
fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi menarik yang menguntungkan.
8.
Menjaga
posisi likuiditas bank agar mampu memenuhi ratio yang ditentukan bank sentral,
9.
Meminimalkan
idle fund.
B. Strategi dan Ketentuan Umum Likuiditas
Bank Syariah
Strategi memelihara likuiditas bank syariah:
-
Memiliki sistem informasi manajemen
yang baik
-
Memprediksi prilaku nasabah, seperti
disaat menjelang lebaran nasabah banyak yang menarik kembali uangnya
-
Melakukan peminjaman antar bank
-
Mencairkan aset jangka pendek
Untuk mengatasi masalah likuiditas dalam dunia
perbankan, baik itu bersifat kelebihan likuiditas ataupun kekurangan
likuiditas, maka banyak sekali cara yang bisa digunakan. Ketika terjadi
kelebihan likuiditas, pemerintah bisa mengatasinya dengan cara menerbitkan
surat berharga islami, baik itu seperti sukuk dan lainnya.
Adapun instrumen yang harus dilakukan bank agar senantiasa
dapat tetap likuid adalah:
1. Memiliki
Primary Reserve ( Cadangan Primer )
yaitu dalam kas atau saldo
yang ada pada Bank Indonesia atau Bank lain. Dalam dunia perbankan, primary
reserve terdiri dari:
a. Giro pada Bank Sentral atau Giro Wajib Minimum (GWM)
Selama ini
Giro pada bank sentral dikenal dengan istilah yakni merupakan kewajiban setiap
bank untuk menitipkan dananya di BI. Berdasarkan ketentuan yang telah
ditetapkan BI, maka besarnya GWM minimal 5% dari total dana pihak ketiga (DPK)
untuk valuta rupiah dan 3% dari dana pihak ketiga untuk valuta asing, dengan
ketentuan sebagai berikut:
Pertama,
bagi Bank Umum Syariah yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK
kurang dari 80%, mendapat tambahan GWM sebagai berikut:
1) Yang
memiliki DPK > Rp 1 triliun s/d Rp 10 triliun wajim memelihara GWM tambahan
dalam rupiah sebesar 1% dari DPK dalam rupiah.
2) Yang
memiliki DPK > Rp 10 triliun s/d Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan
dalam rupiah sebesar 2% dari DPK dalam rupiah.
3) Yang
memiliki DPK > Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah
sebesar 3% dari DPK dalam rupiah.
Sedangkan bagi yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK
sebesar 80% atau lebih; dan /atau yang memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan
Rp 1 triliun tidak dikenakan tambahan GWM.
b. Kas pada valuta.
Alat likuid
ini berisi uang tunai yang dipelihara oleh bank untuk memenuhi kebutuhan
transaksi sehari-hari.
c. Giro pada Bank lain
Rekening
giro pada bank lain bertujuan untuk melancarkan transaksi antar bank (transfer,
inkaso, transaks L/C, dan lain-lain)
d. Item-item uang tunai yang masih dalam
proses inkaso.
Alat likuid
ini terdiri dari cek bank sentral atau bank koresponden yang belum secara
efektif dikreditkan pada rekening bank pada bank sentral atau bank koresponden.
Tujuan dari alat likuid yang termasuk ke dalam
kategori primary reserve ( cadangan primer ) adalah:
Ø Memenuhi
reserve requirement yang ditempatkan dalam bentuk Giro Wajib Minimum di Bank
Indonesia.
Ø Memenuhi
keperluan operasional bank sehari-hari.
Ø
Penyelesaian kliring antar bank.
Ø Memenuhi
kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo.
Dapat di katakana likuid apabila bank syariah dapat
memelihara GWB di Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dapat
memelihara giro di Bank Koresponden dengan besarnya berdasarkan saldo minimum,
dapat memelihara sejumlak kas secukupnya untuk memenuhi pengambilan uang tunai.
2. Memiliki Secondary Reserve
Yaitu cadangan yang berfungsi sebagai penyangga
Primary Reserve, ditanam dalam bentuk investasi jangka pendek. Kalau merujuk
pada bank-bank Islam yang berada di Bahrain ataupun di kawasan timur tengah,
maka kita akan melihat bahwa secondary reserve yang mereka gunakan adalah
berupa pembiayaan perdagangan seperti mudharaba. Dan kebanyakan menggunakan
jenjang waktu yang pendek (short term), berkisar antara 7 hari sampai dengan 12
bulan .
Adapun cadangan sekunder berupa surat-surat berharga
bisa berupa:
a. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
(SWBI).
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah.
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah.
Adapun
ketentuan SWBI sebagai berikut :
1) Jumlah dana yang dititipkan
sekurang-kurangnya Rp 500.000.000 dan selebihnya dengan kelipatan Rp
50.000.000,. Jangka waktu SWBI satu minggu, dua minggu, dan satu bulan yang
dinyatakan dalam jumlah hari.
2) Imbalan yang diterima pada saat jatuh
tempo adalah berupa bonus. Besarnya bonus akan dihitung dengan menggunakan
acuan tingkat indikasi imbalan PUAS, yaitu rata-rata tertimbang dari tingkat
indikasi imbalan sertifikat IMA yang terjadi di PUAS pada tanggal penitipan
Peran SWBI
dalam memenuhi kebutuhan jangka pendek bagi Bank Syariah atau Unit Usaha
Syariah yang memilikinya adalah bisa digunakan pada saat terjadi kekurangan
likuiditas ketika tidak tersedianya dana dari Pasar Uang ataupun dari Bank
Pusat untuk Unit Usaha Syariah. Sebagai the
lender of last resort, Bank Indonesia dapat memberikan pembiayaan dalam
bentuk Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah dan SWBI tersebut
dapat dijadikan agunan bagi fasilitas pembiayaan tersebut.
b.
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Surat
Berharga Syariah Negara atau dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga
negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian
penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah ataupun mata uang
asing.
Sedangkan Jenis-jenis sukuk yang banyak beredar di
pasaran meliputi :
1)
Sukuk ijarah yakni sukuk yang berdasarkan akad ijarah dimana satu pihak
bertindak sendiri atau dapat diwakili dalam menjual atau menyewakan hak manfaat
atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri.
2)
Sukuk mudharabah, yakni sukuk yang berdasarkan akad mudharabah dimana satu
pihak menyediakan modal dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian dan
keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagikan berdasarkan perjanjian
sebelumnya.
3)
Sukuk musyarakah, yakni sukuk berdasarkan akah musyarakah dimana dua pihak atau
lebih bekerjasama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru,
mengembangkan proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan
maupun kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi
modal masing masing pihak.
4)
Sukuk istisna’, yakni sukuk berdasarkan akad
istisna’ dimana pihak menyepakati jual beli dalam pembiayaan suatu
proyek atau barang. Adapun harga, waktu penyerahan, dan spesifikasi barang atau
proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan.
3. Mempunyai akses ke pasar uang.
Pasar uang
yang dimaksudkan di sini adalah pasar uang antar bank syariah dan pasar modal
syariah.
a. Pasar
Uang Antar Bank Syariah (PUAS)
Pasar Uang Antar Bank berdasarkan Prinsip
Syariah adalah transaksi keuangan jangka pendek antar bank berdasarkan prinsip
syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. Untuk saat ini, instrument
keuangan untuk Pasar Uang Syariah yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia
yakni berupa: Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (SIMA).Tujuan
diberlakukannya SIMA ini adalah untuk sarana investasi bagi Bank Syariah atau
Unit Usaha Syariah, terutama untuk mengatur kebutuhan likuiditasnya. Sertifikat
Investasi Mudharabah Antar Bank (sertifikat IMA) didefinisikan sebagai
sertifikat yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS)
yang digunakan sebagai sarana investasi jangka pendek di PUAS dengan akad
mudharabah.
Adapun karakteristik Sertifikat IMA :
· Diterbitkan
dengan akad mudharabah
· Dapat
diterbitkan baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing
· Dapat
diterbitkan dengan atau tanpa warkat.
· Mencantumkan
informasi sedikitnya : nilai nominal investasi, nisbah bagi hasil, jangka waktu
investasi, indikasi tingkat imbalan Sertifikat IMA sebelum didistribusikan pada
bulan terakhir.
· Berjangka
waktu 1 hari sampai dengan 365 hari
· Dapat diperdagangkan sebelum jatuh tempo.
b.
Pasar Modal Syariah
Instrument di pasar modal syariah saat ini
meliputi saham yang masuk kategori Jakarta Islamic Index, Sukuk, dan reksadana
syariah. Karena Bank tidak diperbolehkan berinvestasi pada saham, maka sukuk
dan reksadana syariahlah menjadi secondary reserve dimana instrument ini dapat
dijual di secondary market untuk sukuk dan dicairkan untuk reksadana syariah
jika Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah membutuhkan dana jangka pendek.
c. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank
Syariah (FPJPS)
FPJPS merupakan instrument terakhir untuk
memenuhi kebutuhan likuiditas bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah setelah
terjadinya saldo giro negative dan tidak berhasilnya akses pasar uang syariah
untuk menutup kewajiban jangka pendek. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek ini,
diberikan hanya kepada Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah yang mengalami
kesulitan pendanaan jangka pendek, namun masih memenuhi persyaratan tingkat
kesehatan dan permodalan.
d.
LPS Sebagai Sarana Penunjang Likuiditas Perbankan
Setiap Bank yang melakukan kegiatan usaha
di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan LPS. Jenis Bank
tersebut meliputi bank umum dan BPR, termasuk bank nasional, bank campuran dan
bank asing, serta bank konvensional dan bank Syariah. LPS adalah badan hukum
yang independent yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) yang ditetapkan tanggal 22 September
2004. Pendirian dan operasional LPS dimulai sejak UU LPS berlaku efektif yakni
tanggal 22 September 2005. LPS menjamin simpanan nasabah bank yang berbentuk
tabungan, deposito, giro, sertifikat deposito dan bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu. LPS juga menjamin simpanan di bank Syariah yang berbentuk giro
wadiah, tabungan wadiah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. LPS hanya
akan menjamin pembayaran simpanan nasabah tersebut sampai dengan jumlah Rp 2
milyar sedangkan sisanya akan dibayarkan dari hasil likuiditasi bank.
Strategi
mengamankan Likuiditas
Strategi manajemen
likuiditas akan sangat terkait dengan tujuan penggunaan likuiditas. Namun dalam
menerapkan strategi manajemen yang akan diambil sangat tergantung kepada skill
manager likuiditas yang ada, keadaan dari manajemen information system yang
dimiliki serta perlu dipertimbangkan kondisi likuiditas pasar dan kebutuhan
likuiditas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam rangka menjaga
posisi likuiditas dan proyeksi cashflow
agar selalu dalam posisi aman, terutama dalam kondisi tingkat bunga berfluktuasi,
beberapa strategi yang dapat dikembangkan oleh bank sbb (Raflus Rax, 1996):
-
Memperpanjang
jatuh tempo semua kewajiban bank,kecuali bila tingkat bunga senderung mengalami
penurunan ;
-
Melakukan
diversifikasi sumber dana bank;
-
Menjaga
keseimbangan jangka waktu aset dan kewajiban
-
Memperbaikin
posisi likuiditas antara lain mengalihkan aset yang kurang marketable menjadi
lebih marketable .
Bank dianggap likuid bila:
-
Memiliki
sejumlah likuiditas/memegang alat-alat likuid, cash assets (uang kas, rekening
pada bank sentral dan bank lainnya) sama dengan jumlah kebutuhan likuiditas
yang diperkirakan .
-
Memiliki
likuiditas kurang dari kebutuhan, tetapi bank memiliki surat-surat berharga
yang segera dapat dialihkan menjadi kas, tanpa mengalami kerugian baik sebelum
/ sesudah jatuh tempo.
-
Memiliki
kemampuan untuk memperoleh likuiditas dengan cara menciptakan uang.
Kewajiban likuiditas wajib minimum:
-
Bank dalam
menghimpun dana diwajibkan memelihara sejumlah likuiditas tertentu dari total
DPK yang dihimpun oleh bank dalam periode tertentu.
-
Jumlah
likuiditas wajib minimum tsb harus ditempatkan dalam rekening giro bank ybs
pada bank sentral. Oki/ disebut Giro Wajib Minimum (GWM)
-
Ketentuan BI:
GWN Rupiah adalah 5% dari total DPK Rupiah yang dihitung rata-rata hatian dalam
satu minggu dan harus dilaporkan ke BI.
#GWM
dibedakan dalam 2 kategori: GWM rupiah (5%) dan GWM valas (3%)
#pelapor
GWM valas dilakukan oleh bank devisa, sedangkan pelaporan GWM rupiah dilakukan
oleh bank devisa dan bukan bank devisa termasuk pula BPR
#perhitungan
GWM bagi analis luar menggunakandata keuangan bank yang dipublis di media
#ketentuan
BI bank wajib mempublis laporan keuangan setiap triwulan (per 31 Maret, 30
Juni, 30 September, dan 31 Dseember)
#perhitungan
GWM: jumlah saldo giro pada BI / jumlah DPK X 100% = >5
C. Teori Manajemen Likuiditas
a. Commercial loan theory
Teori ini beranggapan bahwa
bank-bank hanya boleh memberikan pinjaman dengan surat dagang jangka pendek
yang dapat dicairkan dengan sendirinya (self liquidating)
Teori ini dianggap paling kuno, nama lain
dari teori ini adalah real bills doctrine. Teori ini mulai dikenal sekitar
2 abad lalu. Kajian teori ini dilakukan oleh Adam Smith dalam
bukunya yang terkenal The Wealth of Nation yang diterbitkan tahun 1776. teori
ini beranggapan bahwa bank hanya boleh memberikan pinjaman dengan surat dagang
jangka pendek yang dapat dicairkan dengan sendirinya(self liquiditing).
Self Liquiditing berarti pemberian pinjaman mengandung makna untuk pembayaran
kembali.
b. Shiftability theory
Teori ini beranggapan
bahwa likuiditas sebuah bank tergantung pada kemampuan bank
untuk memindahkan aktivanya ke orang lain dengan harga yang dapat diramalkan.
Shiftability theory teori
tentang aktiva yang dapat dipindahkan dan teori ini beranggapan bahwa likuiditas
sebuah bank tergantung pada kemampuan bank memindahkan aktivanya ke pada orang
lain dengan harga yang dapat diramalkan, misalnya dapat diterima bagi bank
utnuk berinvestasi pada pasar terbuka jangka pendek dalam portofolio aktivanya.
Jika dalam keadaan ini sejumlah depositor harus memutuskan untuk menarik
kembali uang mereka, bank hanya tinggal menjual investasi tersebut, mengambil
yang diperoleh (atau dibeli), dan membayarnya kembali kepada depositornya.
c.
Anticipated
income theory
Disebut juga teori pendapatan
yang diharapkan. Teori ini berkesimpulan bahwa sama sekali benar bagi sebuah
bank untuk memberikan pinjaman-pinjaman jangka panjang dan pinjaman-pinjaman
bukan untuk dagang.
Sebagai
teori yang dikenal tahun 1940 yang menonjol di Amerika Serikat, yaitu teori
pendapatan yang diharapkan (the anticipated income theory) ini
berarti semua dana yang dialokasikan atau setiap upaya mengalokasikan dana
ditunjukkan pada sector yang feasible dan layak akan
menguntungkan bagi bank.
d. Liabilty management theory
Teori ini melihat struktur
aktiva bank mempunyai peran mencolok yang harus dimainkan dalam
menyediakan likuiditas untuk bank. Teori ini juga terus
melampaui cara pendekatan dengan satu dimensi dan menyatakan bahwa bank juga
dapat menggunakan aktivanya untuk tujuan-tujuan likuiditas.
Maksud
teori ini adalah bagaimana bank dapat mengelola pasivanya sedemikian rupa
sehingga pasiva itu dapat menjadi sumber likuiditas. Likuiditas yang diperlukan
bagi bank adalah:
a) untuk
menghadapi penarikan oleh nasabah
b) memenuhi
kewajiban bank yang jatuh tempo
c) memenuhi
permintaan pinjaman dari nasabah.
D. Definisi Bank Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI)
BLBI adalah akronim dari Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia yang berarti bantuan yang diberikan ataas permintaan
bank-bank yang mengalami masalah likuiditas. Bantuan ini diberikan untuk
menjaga kestabilan sektor perbankan serta sistim pembayaran nasional agar
jangan terganggu oleh ketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana
pada bank-bank, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam
definisi lain menjelaskan, BLBI merupakan fasilitas dari Bank Indonesia untuk
menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan agar jangan terganggu
karena ketidakseimbangan (mismatch)
antara permintaan dan penarikan dana pada bank-bank, baik jangka pendek maupun
panjang. Dalam operasinya ada berbagai jenis fasilitas likuiditas bank sentral
kepada sektor perbankan dengan persyaratan yang berbeda, sesuai dengan sasaran
maupun peruntukaannya. Karena jenis fasilitas yang beragam ini secara umum
dapat dikatakan bahwa BLBI adalah fasilitas
likuiditas BI yang diberikan kepada bank-bank diluar kredit likuiditas
Bank Indonesia atau KLBI.
Meskipun
bantuan likuiditas untuk menghadapi masalah perbankan ini sudah ada
dipergunakan sejak lama, istilah bantuan likuiditas BI atau BLBI baru digunakan
oleh Bank Indonesia sejak tahun 1998. Istilah ini muncul semenjak Indonesia
menjelankan program pemulihan ekonomi dengan dukungan IMF yang menyebutkan
berbagai fasilitas tadi sebagai liquidity supports. Untuk membedakan dengan
KLBI yang lebih dikenal secara umum dan sebagai terjemahan dari liquifity
support telah digunakan istilah bantuan likuiditas Bank Indonesia atau BLBI.
Pada
dasarnya BLBI terdiri atas 5 jenis fasilitas sebagai berikut :
Ø Fasilitas
dalam rangka mempertahankan kestabilan sistem pembayaran yang bisa terganggu
karena adanya mismatch atau
kesenjangan antara penerimaan dan penarikan dana perbankan, baik dalam jangka
pendek disebut fasilitas diskonto atau fasdis I dan yang berjangka lebih
panjang, disebut fasdis II.
Ø Fasilitas
dalam rangka operasi pasar terbuka (OPT) sejalan dengan program moneter dalam
bentuk SPBU lelang maupun bilateral.
Ø Fasilitas
dalam rangka penyehatan (nursing atau rescue) bank dalam bentuk kredit
likuiditas darurat (KLD) dan kredit sub-ordinasi (SOL).
Ø Fasilitas
unutk menjaga kestabilan sistim perbankan dan sistim pembayaran sehubungan
dengan danya penarikan dana perbankan secara besar-besaran (bank run atau rush)
dalam bentuk penarikan cadangan wajib (GWM) atau adanya saldo negatif atau
saldo debet atau overdraft rekening di BI.
Ø
Fasilitas untuk mempertahnkan
kepercayan masyarakat pada perbankan dalam bentuk dana talangan untuk membayar
kewajiban luar negeri bank dan untuk pelaksanaan sistin peminjaman (blanket
guarantee).
Komponen
terbesar dari BLBI adalah bantuan likuiditas Bank Indonesia yang diberikan
kepada bank-bank yang menghadapi masalah penarikan dana pada bank-bank oleh
nasabah secara besar-besaran dan bersamaan, berkaitan dengan krisi yang melanda
perekonomian nasional. Akan tetapi BLBI juga menyangkut berbagai fasilitas BI
kepada bank-bank dalam bentuk lain sebagaimana secara rinci disebutkan di atas.
Dasar Hukum BLBI
Pada
dasarnya pemberian BLBI kepada perbankan didasarkan atas berbagai ketentuan
sebagai berikut:
Ø
Undang-undang nomor 13 tahun 1968
tentang Bank Sentral dalam pasal 29 ayat (1) dan pasal (2) serta Penjelasan
Umumnya yang menyebutkan bahwa sebagai lender of last resort Bank Sentral dapat
memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan likuiditas yang dihadapi dalam keadaan darurat
Ø
Pasal 37 ayat (2) huruf b UU no 7
tahun 1992 yang mengatakan bahwa “Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya, makan Bank Indonesia dapat mengambil
tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ø
Pasal 2 ayat (1) Keputusan Presiden
no 120 taun 1998 yang mengatakan “Bank Indonesia dapat memberikan jaminan atas
pinjaman laur negeri dan atau atas pembiayaan perdagangan internasional yang
dilakukan oleh bank”.
Ø
Pasal 1 Keputusan Presiden no 26
tahun 1998 yang mengatakan : “Pemerintah memberi jaminan bahwa kewajiban
pembayaran bank umum kepada pemilik simpanan dan krediturnya akan dipenuhi: dan
Ø
Pasal 2 ayat (1) Keputusan Presiden
no 1998 yang mengatakan “pemerintah memberikan jaminan terhadap kewajiban
pembayaran Bank Perkreditan Rakyat:
Petunjuk-petunjuk
dan Keputusan Presiden pada Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekku Wasbang dan
Prodis pada tanggal 3 September 1007 yang mengataka, krisi di beberapa negara
menunjukkan bahwa sejtor keuangan (khususnya perbankan) merupakan unsur yang sangat
penting dan dapat menjadi pemicu serta memperburuk keadaan. Untuk itu, Menteri
Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia mengambil langkah-langkah berikut:
a. Bank-bank
nasional yang sehat tetapi mengalami kesulitan likuiditas untuk sementara
supaya dibantu.
b. Bank-bank
yang nyata-nyata tidak sehat, supaya diupayakan penggabungan atau akuisisi dengan bank-bank lainnya yang sehat.
BLBI dalam Keadaan Normal
Dalam
keadaan normal, suatu bank meskipun dalam keadaan sehat dapat saja menghadapi
masalah adanya kesenjangan antar aliran dana yang harus dibayarkan dengan yang
diterima di dalam menjalankan fungsinya sebagai perantara keuangan dalam sistim
pembayaran sebagai. Aliran dana itu harus dilaksanakan sebagai pembiayaan
transaksi yang terjadi dalam perekonomian, keadaan likuiditas bank demikian
disebut sebagai suatu mismacth
artinya suatu keseniangan yang timbul karena tagihan terhadap bank tersebut (liabilities) lebih besar dari hak untuk
dibayar (assets) pada hari dilakukan
pencatatan.
Hak menerima
bayaran dan kewajiban membayar harian yang terjadi karena transaksi yang
dibayar melalui dokumen dengan perantaraan perbanakn setiap hari kerja
disosokkan melalui proses kliring, yang di Indonesia dilaksanakan oleh lembaga
kliring. Di Indonesia kliring dilaksanakan oleh BI serta dalam hal-hal tertentu
oleh bank-bank yang ditunjuk BI. Dalam sistem pembayaran nasional pembayaran
dilakukan selain melalui cara ini juga melalui cara tunai, menggunakan uang.
Suatu bank yang menghadapi kalah kliring harian dalam keadaan normal akan
mengatasinya dengan cara-cara sebagai berikut:
1.Menutup kekalahan dengan menggunakan dananya sendiri, baik yang disimpan dibanknya atau yang disimpan di BI. Sejak tahun 1995, bersamaan dengan perubahan ketentuan tentang besarnya dan cara menghitung jumlah minimal giro wajib bank atau giro wajib minimum (GWM), bank-bank diharuskan menyimpan giro wajib pada BI. Untuk kehati-hatiannya bank-bank biasanya mempunyai giro yang lebih besar dari kewajian minimumnya (5% dari dana pihak ketiga sejak 1996).
2.Menutup kekurangan tersebut dengan mencari pinjaman dari bank lain dalam pasar uang antar bank (PUAB) dengan suku bunga yang berlaku di pasar. Suku bunga pasar uang antar bank ini untuk bank-bank yang dianggap bonafide di Jakarta, sejumlah 21 bank yang relatif besar, disebut suku bunga JIBOR (Jakarta inter-bank offer rate). Untuk bank-bank diluar mereka ini biasanya suku bunga lebih tinggi lagi. Semakin suatu bank dianggap rendah bonafiditasnya diantara mereka semakin tinggi suku bunga yang harus dibayar untuk pinjaman antar bank ini.
3. Kalau dari sumber-sumber tersebut tidak diperoleh, apapun alasannya, maka jalan yang ditempuh adalah minta menggunakan fasilitas BI yang digunakan untuk menghadapi masalah ini. Fasilitas yang tersedia adalah yang disebutkan pertama di atas, Fasdis I atau Fasdis II yang berbeda dalam jangka waktu dan persyaratannya.
Dalam keadaan normal bank sebenarnya tidak suka meminta BI untuk menggunakan fasilitas diskonto, karena dalam keadaan normal hal ini dipandang sebagai tindakan yang menunjukkan kelemahan bank yang bersangkutan kepada bank-bank lain, bahwa bank tersebut tidak dipercaya meminjam dana jangka pendek dari sesama bank. Ini merupakan suatu tabu. Selain itu suku bunga fasilitas diskonto ini lebih tinggi dari suku bunga pasar antar bank, karena mengandung unsur hukuman atau penalty, agar bank tidak mudah menggunakan fasilitas ini. Ini menjaga timbulnya moral hazard.
Jadi dalam keadaan normal, bank yang kalah kliring dapat mencari dana untuk menutup kekurangan likuiditasnya dengan meminjam dari bank lain pada pasar uang antar bank dengan suku bunga yang berlaku.
1.Menutup kekalahan dengan menggunakan dananya sendiri, baik yang disimpan dibanknya atau yang disimpan di BI. Sejak tahun 1995, bersamaan dengan perubahan ketentuan tentang besarnya dan cara menghitung jumlah minimal giro wajib bank atau giro wajib minimum (GWM), bank-bank diharuskan menyimpan giro wajib pada BI. Untuk kehati-hatiannya bank-bank biasanya mempunyai giro yang lebih besar dari kewajian minimumnya (5% dari dana pihak ketiga sejak 1996).
2.Menutup kekurangan tersebut dengan mencari pinjaman dari bank lain dalam pasar uang antar bank (PUAB) dengan suku bunga yang berlaku di pasar. Suku bunga pasar uang antar bank ini untuk bank-bank yang dianggap bonafide di Jakarta, sejumlah 21 bank yang relatif besar, disebut suku bunga JIBOR (Jakarta inter-bank offer rate). Untuk bank-bank diluar mereka ini biasanya suku bunga lebih tinggi lagi. Semakin suatu bank dianggap rendah bonafiditasnya diantara mereka semakin tinggi suku bunga yang harus dibayar untuk pinjaman antar bank ini.
3. Kalau dari sumber-sumber tersebut tidak diperoleh, apapun alasannya, maka jalan yang ditempuh adalah minta menggunakan fasilitas BI yang digunakan untuk menghadapi masalah ini. Fasilitas yang tersedia adalah yang disebutkan pertama di atas, Fasdis I atau Fasdis II yang berbeda dalam jangka waktu dan persyaratannya.
Dalam keadaan normal bank sebenarnya tidak suka meminta BI untuk menggunakan fasilitas diskonto, karena dalam keadaan normal hal ini dipandang sebagai tindakan yang menunjukkan kelemahan bank yang bersangkutan kepada bank-bank lain, bahwa bank tersebut tidak dipercaya meminjam dana jangka pendek dari sesama bank. Ini merupakan suatu tabu. Selain itu suku bunga fasilitas diskonto ini lebih tinggi dari suku bunga pasar antar bank, karena mengandung unsur hukuman atau penalty, agar bank tidak mudah menggunakan fasilitas ini. Ini menjaga timbulnya moral hazard.
Jadi dalam keadaan normal, bank yang kalah kliring dapat mencari dana untuk menutup kekurangan likuiditasnya dengan meminjam dari bank lain pada pasar uang antar bank dengan suku bunga yang berlaku.
BLBI dalam Keadaan Krisis
Semenjak
gejolak moneter mengenai Indonesia pertengahan Juli 1997, maka sebagai
implikasi dari kebijakan moneter yang ditempuh terjadi keketatan likuiditas
perekonomian. Ini terjadi terutama setelah pengambangan rupiah medio Agustus
1997. Keketatan likuiditas merupakan implikasi dari tindakan mempertahankan
nilai rupiah melalui kebijaksanaan fiskal (menahan pengeluaran rutin), kebijakan
moneter (penghentian pembelian SBPU oleh BI akhir Juli 1997 dan peningkatan
suku bunga SBI sampai lebih dari dua kali lipat minggu ketiga Agustus 1997),
ditambah dengan suatu tindakan yang merupakan gebrakan moneter (pengalihan
deposito berbagai BUMN dan Yayasan menjadi SBI). Ini merupakan permulaan
terjadinya dampak negatif krisis terhadap sektor perbankan.
Proses terjadinya mismatch likuiditas perbankan dan jalan yang ditempuh perbankan sampai terjadinya pemberian BLBI mungkin dapat digambarkan sebagai berikut: Semula, terjadi proses pengalihan dana perbankan dari bank yang satu ke yang lain. Bank-bank yang mengalami penarikan dana nasabah secara besar-besaran menghadapi masalah kekurangan likuiditas ini dengan mencari pinjaman antar bank. Setelah sumber ini menghilang, bank akan menggunakan dana yang dimilikinya pada BI. Giro bank yang bersangkutan pada BI berkurang dengan penarikan ini, semula dari dana diluar GWM, kemudian setelah dana ini hilang, kalau penarikan masih berjalan dihadapi dengan penyusutan GWM. Kalau penarikan berlanjut, bank yang memang harus melayani penarikan dana nasabah harus membiayainya dengan mengalami saldo negatif atau saldo debet atau overdraft pada rekening giro di BI.
Pelanggaran GWM (kurang dari 5% atas dana pihak ketiga bank) ini mengandung penalti yang berat, kalau tidak dibayar akan menjadi hutang bank kepada BI. Jumlah bank yang melanggar ketentuan GWM ini membengkak dengan berjalannya krisis. Sebagai contoh pada bulan Agustus 1997, pelanggaran ketentuan GWM, artinya giro bank-bank pada BI yeng menurun dibawah 5% dari dana pihak ketiga, terjadi terhadap 14 bank pada tanggal pengumuman pengambangan rupiah (14/8/97) dan menjadi 51 pada akhir Agustus 1997. Setelah krisis terjadi memang ada yang menyalahkan kebijakan Pemerintah mengambangkan rupiah.
Pasar uang antar bank menjadi lebih terkotak-kotak, bank yang masih mempunyai kelebihan likuiditas harian tidak bersedia melepas likuiditasnya di pasar uang antar bank. Likuiditas yang berlebih hanya dilepas kepada bank lain yang benar-benar dikenalnya dengan suku bunga yang sangat tinggi. Dalam proses penyelamatan oleh pemiliknya, dana dikeluarkan oleh pemiliknya dari bank-bank yang dipandang lemah (tidak memberi jaminan keamanan dana) kepada bank-bank yang dianggap kuat atau apa yang dikenal sebagai flights to safety, bank-bank Pemerintah, bank-bank swasta besar dan bank-bank asing yang dianggap aman memperoleh tambahan likuiditas atas kerugian bank-bank yang dianggap lemah.
Adanya kompartmentalisasi atau segmentasi pasar uang antar bank ini menyulitkan pengelolaan likuiditas maupun pengendalian sistim pembayaran oleh Bank Indonesia. Suku bunga antar bank yang tidak mengalami masalah likuiditas tidak terlampau tinggi, sebaliknya dengan suku bunga antar bank yang mengalami keketatan likuiditas
Proses terjadinya mismatch likuiditas perbankan dan jalan yang ditempuh perbankan sampai terjadinya pemberian BLBI mungkin dapat digambarkan sebagai berikut: Semula, terjadi proses pengalihan dana perbankan dari bank yang satu ke yang lain. Bank-bank yang mengalami penarikan dana nasabah secara besar-besaran menghadapi masalah kekurangan likuiditas ini dengan mencari pinjaman antar bank. Setelah sumber ini menghilang, bank akan menggunakan dana yang dimilikinya pada BI. Giro bank yang bersangkutan pada BI berkurang dengan penarikan ini, semula dari dana diluar GWM, kemudian setelah dana ini hilang, kalau penarikan masih berjalan dihadapi dengan penyusutan GWM. Kalau penarikan berlanjut, bank yang memang harus melayani penarikan dana nasabah harus membiayainya dengan mengalami saldo negatif atau saldo debet atau overdraft pada rekening giro di BI.
Pelanggaran GWM (kurang dari 5% atas dana pihak ketiga bank) ini mengandung penalti yang berat, kalau tidak dibayar akan menjadi hutang bank kepada BI. Jumlah bank yang melanggar ketentuan GWM ini membengkak dengan berjalannya krisis. Sebagai contoh pada bulan Agustus 1997, pelanggaran ketentuan GWM, artinya giro bank-bank pada BI yeng menurun dibawah 5% dari dana pihak ketiga, terjadi terhadap 14 bank pada tanggal pengumuman pengambangan rupiah (14/8/97) dan menjadi 51 pada akhir Agustus 1997. Setelah krisis terjadi memang ada yang menyalahkan kebijakan Pemerintah mengambangkan rupiah.
Pasar uang antar bank menjadi lebih terkotak-kotak, bank yang masih mempunyai kelebihan likuiditas harian tidak bersedia melepas likuiditasnya di pasar uang antar bank. Likuiditas yang berlebih hanya dilepas kepada bank lain yang benar-benar dikenalnya dengan suku bunga yang sangat tinggi. Dalam proses penyelamatan oleh pemiliknya, dana dikeluarkan oleh pemiliknya dari bank-bank yang dipandang lemah (tidak memberi jaminan keamanan dana) kepada bank-bank yang dianggap kuat atau apa yang dikenal sebagai flights to safety, bank-bank Pemerintah, bank-bank swasta besar dan bank-bank asing yang dianggap aman memperoleh tambahan likuiditas atas kerugian bank-bank yang dianggap lemah.
Adanya kompartmentalisasi atau segmentasi pasar uang antar bank ini menyulitkan pengelolaan likuiditas maupun pengendalian sistim pembayaran oleh Bank Indonesia. Suku bunga antar bank yang tidak mengalami masalah likuiditas tidak terlampau tinggi, sebaliknya dengan suku bunga antar bank yang mengalami keketatan likuiditas
Sebagian bank tidak dapat memperoleh akses likuiditas dari pasar, padahal mengalami masalah mismatch likuiditas. Bank-bank inilah pada dasarnya yang terpaksa lari ke BI untuk mengajukan permintaan bantuan likuiditas. Bank-bank yang dalam posisi demikian menjadi semakin banyak dengan berjalannya krisis moneter yang terus belangsung.
Setelah pelanggaran ketentuan GWM, karena penarikan dana perbankan berlanjut maka bank-bank mengalami saldo debet atau saldo negatif pada rekening giro mereka di BI. Bank yang mengalami saldo negatif pada akhir 1997 tercatat sebanyak 29. Sebagaimana digambarkan di atas, ini terjadi melalui proses kliring yang menghitung segala tagihan dan pembayaran yang setelah digabungkan atau dinetokan (netting) maka suatu bank akan mempunyai posisi kalah kliring atau sebaliknya, atau saldonya nol kalau tagihan dan pembayaran ternyata berimbang. Kalau sumber-sumber lain untuk menutup kekalahan kliring tidak ada, maka bank tersebut dapat mempunyai saldo negatif pada rekening gironya di BI.
Selain saldo negatif pada rekening giro bank-bank di BI bentuk BLBI lain adalah dana talangan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran sebagai implikasi dari janji Pemerintah memberi perlindungan pada deposan kecil pada bank yang dicabut ijin usahanya, sesuai Kebijakan Pemerintah 3 September 1997. Dalam rangka pencabutan ijin usaha 16 bank bulan Nopember 1997 BI membiayai pengembalian dana deposan sampai dengan Rp 20 juta untuk masing-masing rekening, yang merupakan dana talangan. Selain itu juga dilakukan pembayaran kepada pemilik deposito dan tabungan diatas Rp 20 juta pada minggu ketiga Pebruari 1998.
Setelah krisis bekelanjutan bahkan lebih memburuk dalam arti ancaman hilangnya sama sekali kepercayaan terhadap perbankan, maka atas usul IMF dalam kelanjutan dari negosiasi untuk LOI kedua, Pemerintah pada akhir Januari 1998 menerapkan suatu sistim yang memberi jaminan kepada bank nasional Indonesia yang mencakup keseluruhan kreditur dan deposito serta tabungan bank, dikenal sebagai blanket guarantee. Dana yang digunakan untuk kepentingan ini juga merupakan bagian dari BLBI.
Permasalahan Beban Pembiayaan BLBI
Jumlah BLBI
ternyata sangat besar. Ini terutama disebabkan oleh terjadinya krisis yang
berkepanjangan dan karena jalan keluar yang prosesnya, apapun alasannya,
ternyata memakan waktu sangat panjang. Padahal dalam penyelesaian masalah yang
terkait dengan krisis yang mempunyai dampak penularan atau contagious,
kecepatan itu sangat penting. Kecepatan untuk mengetahui atau mengidentifikasi,
menerima dan dalam mencari solusi membuat rencana dan melaksanakannya dengan
tepat, cepat dan konsisten itu sangat menentukan berhasil tidaknya. The
sooner the better, kata orang, karena itu speed is the essence.
Memang dalam hal ini sering kecepatan mengorbankan ketelitian.
Besarnya
jumlah BLBI sebenarnya tergantung mana saja dari jenis-jenis fasilitas itu yang
akan dimasukkan. Kalau difinisi yang diambil yang sangat umum, bahawa BLBI
adalah semua bantuan likuiditas BI untuk perbankan diluar KLBI, maka jumlah ini
jelas sangat besar. Selain jumlah akhir dan komposisi dari BLBI mungkin
perkembangan dari jumlah tersebut juga perlu diperhatikan untuk melihat
perkembangan masalah yang kerkaitan dengan pemberian BLBI ini.
Berbagai
permasalahan yang timbul dari jumlah BLBI ini akan nampak kalau diikuti hasil
audit BPK yang menunjukkan pernilain lembaga tersebut untuk masing-masing jenis
BLBI mana yang dianggap tepat dan mana yang tidak untuk pembebanannya pada
anggaran Pemerintah. Dalam hal ini mungkin ada beberapa jumlah besarnya BLBI
yang bisa dijadikan patokan untuk dibahas statusnya, sebagai berikut:
1. Jumlah BLBI posisi
Maret 1998 yang disebutkan dalam pengalihan hak tagih BI kepada Pemerintah
(BPPN) berkaitan dengan penyerahan 54 bank dibawah pengawasan BPPN adalah
sebesar RP 144,5 triliun yang kemudian menjadi basis dikeluarkannya obligasi
yang sama besarnya dengan jumlah ini. Kepada jumlah ini masih ditambah dengan
Rp 20 triliun untuk membayar kewajiban PT. Bank Ekspor-Impor Indonesia.
Keduanya berjumlah Rp. 164,5 triliun. Diluar ini masih ada penyediaan dana
penjaminan (blanket guarantee) sebesar Rp.53,8 triliun.
2. Dalam laporan auditnya BPK hanya
membuat audit mengenai jumlah BLBI diluar dana penjaminan atau Rp 164,5 tiliun
saja. Jumlah ini menurut laporan BPK harusnya terlebih dahulu disepakati antara
Depkeu dengan BI. Dan karena kesepakatan mengenai kriteria pemberian BLBI
antara kedua instansi belum ada, maka kesepakan mengenai jumlah tersebut juga
belum ada. Ini yang menyebabkan BPK mengambil keputusan untuk tidak memberikan
pendapat.
3. Sedangkan
dalam audit yang dilakukan, karena belum adanya kriteria yang disepakati maka
BPK melakukan pengecekan kelayakan jumlah-jumlah tersebut berdasarkan ketentuan
BI yang seharusnya diikuti. Pendapat yang pada akhirnya menghasilkan laporan
jumlah mana yang layak dipikul Pemerintah dan mana yang tidak layak didasarkan
atas pengecekan proses pemberian BLBI dengan ketentuan atau persyaratan yang
ada. Kalau ketentuan tsb tidak dipatuhi maka BPK berpendapat bahwa jumlah BLBI
yang tidak mengikuti ketentuan tersebut tidak bisa dibebankan kepada anggaran Pemerintah.
Perhitungan-perhitungan ini antara lain yang menghasilkan bahwa BI harus
menyediakan cadangan terhadap tagihan-tagihannya yang macet yang jauh lebih
besar dari cadangan yang disediakan. Karena kewajiban menyediakan cadangan
inilah maka diperoleh saldo negatif pada neraca BI. Saldo negatif ini jauh
lebih besar dari modal yang ada, karena itu BI berdasarkan perhitungan ini
sudah dalam keadaan tidak solvent.
4. Beberapa
waktu yang lalu ada suatu pendapat di Depkeu yang menyatakan bahwa pertanggungan
anggaran Pemerintah sebaiknya hanya menyangkut BLBI yang diberikan sejak
diterapkannya blanket guarantee pada akhir Januari 1998. Mungkin ada pendapat
yang lain lagi mengenai jumlah mana yang layak ditanggung anggaran.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Likuiditas pada umumnya didefinisikan sebagai kepemilikian sumber dana yang
memadai untuk memenuhi seluruh kebutuhan kewajiban yang akan jatuh tempo. Atau
dengan kata lain kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pada saat ditagih
baik yang dapat diduga ataupun yang tidak terduga. Manajemen likuidits bank
Syariah diartikan sebagai suatu program pengendalian alat-alat likuid yang
mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera harus di bayar.
Fungsi dari manajemen likuiditas salah satunya adalah
untuk memberikan keyakinan kepada para penyimpan dana bahwa deposan dapat
menarik sewaktu-waktu dananya atau pada saat jatuh tempo dana tersebut dapat
ditarik. Oleh karena itu bank wajib mempertahankan sejumlah dana likuid agar
bank dapat memenuhi kewajibannya tersebut. Selama ini alat untuk manajemen likuiditas dalam bank syariah adalah PUAS
(pasar uang antar bank syariah) dengan akad wadiah, SIMA (sertifikat mudharabah
antar bank syariah) dan SWBI (surat wadiah bank indonesia) juga dengan akad
wadiah. Apabila suatu bank kekurangan likuiditas, maka bank tersebut akan
meminjam kepada bank lain berupa PUAS, SWBI atau menerbitkan SIMA, dan
sebaliknya.
Instrument yang harus dilakukan bank agar senantiasa
dapat tetap likuid adalah : 1. Memiliki Primary Reserve ( Cadangan Primer ) yang terdiri dari: Giro pada Bank Sentral atau Giro Wajib Minimum (GWM), Kas
pada valuta, Giro pada Bank lain, Item-item uang tunai yang masih dalam proses
inkaso. 2. Memiliki Secondary Reserve Yaitu cadangan yang berfungsi sebagai
penyangga Primary Reserve. Adapun cadangan sekunder berupa surat - surat
berharga bisa berupa: Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN).3. Mempunyai akses ke pasar uang yaitu : Pasar
Uang Antar Bank Syariah (PUAS), Pasar Modal Syariah, Fasilitas Pembiayaan
Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS), LPS Sebagai Sarana Penunjang
Likuiditas Perbankan
Daftar
Pustaka
http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/11/manajemen-likuiditas-perbankan-syariah.html
Comments
Post a Comment