BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kegiatan istinbath
hukum, salah satu aspek yang menjadi objek pembahasan terhadap nash, baik al-Qur’an maupun
al-Sunnah, adalah berkaitan dengan
dilalah nash. Kajian
atau pembahasan tentang dilalah nash
adalah merupakan hal sangat penting karena ia terkait langsung dengan muatan
hukum yang ditunjukkan oleh dalil
nash. mengetahui dan memahami dilalah nash ini sangat penting, karena ia terkait dengan cara
penunjukkan lafal atas sesuatu
makna (muatan hukum) yang terkandung didalamnya.[1]
Untuk mengetahui bagaimana penunjukkan lafal nash atas sesuatu makna dan muatan hukum apa yang
terkandung di dalamnya, tentu membutuhkan sarana atau alat yang dapat digunakan
untuk maksud tersebut. Sarana yang dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana
penunujukan lafal atas sesuatu
ketentuan hukum adalah dengan menggunakan konsep Qath’iy dan Zhanniy.
Kedua konsep ini, dalam aplikasinya, ingin melihat muatan hukum yang ditunjukan
oleh sesuatu lafal nash.
Penunjukan hukum itu dapat dilihat dari dua segi, yaitu jelas dan tidak jelas
atau tegas dan tidak tegas.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penetapan
Qath’iy dan Zhanniy dalam Nash Hukum ?
2. Apakah yang
dimaksud Nash Hukum yang tetap (tsabit) dan yang bisa berubah (Mutaghayyirat)?
3. Apa Hubungan
penetapan Qath’iy-Zhanniy dan Tsabit-Mutghayyir dengan Ijtihad ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui Penetapan Qath’iy dan Zhanniy dalam Nash
Hukum.
2.
Mengetahui Nash Hukum yang tetap (tsabit) dan yang bisa
berubah (Mutaghayyirat).
3.
Mengetahui Hubungan penetapan Qath’iy-Zhanniy dan
Tsabit-Mutghayyir dengan Ijtihad.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Penetapan Qath’iy dan Zhanniy dalam Nash hukum
Al-Quran dan As-Sunnah
merupakan nash yang diyakini datang dari syar’i
dan menjadi sumber pokok hukum islam. Sebagai sumber hukum, ada dua hal yang
harus dipertanggungjawabkan terhadap kedua nash. Pertama, otentisitas,
validitas, dan otoritas sumber datangnya atau daalam istilah ushul fiqh biasa
disebut dengan wurud atau tsubutnya. Jika nash datang dari sumber yang valid,
otentik, dan otoritatif nash itu disebut qath’i al-wurud. Namun, jika tidak
memenuhi persyaratan tersebut, nash itu disebut zhanni al-wurud. Kedua, dari
segi dalalahnya (meaning)-nya atau penunjukan suatau lafad terhadap maknanya.
Jika penunjukan maknanya jelas, tegas, dan definitif, nash itu disebut qath’i
al-dalalah. Adapun meniscayakan adanya ta’wil dan beberapa kemungkinan makna
maka nash itu termasuk dalam kategori Zhanni al-dalalah.[2]
Dari segi wurudnya, para
ulama sepakat bahwa Al-quran dan sunnah al-mutawatirah termasuk dalam kategori
zhanni. Adapun dari segi dalalahnya, baik Al-quran,sunnah al-mutawatirah,
maupun khabar ahad selalu beredar dalam dua kemungkinan qath’i dn zhanni. [3]
Walaupun para ahli hukum
Islam sepakat mengenai tidak meragukan eksistensi (wurud) al-quran dari ayat
yang pertama sampai ayat yang terakhir diturunkannya, ayat Al-Quran yang
langsung menunjuk pada materi hukum sangat terbatas jumlahnya. Menurut Abd
al-Wahhab khalaf, ayat-ayat hukum dalam bidang muamalat berkisar antara 23
sampai 250 ayat. Adapun jumlah ayat Al-Quran seluruhnya lebih dari 6000 ayat.
Jadi, jumlah ayat hukum dalam Al-quran sekitar 3-4% saja dri seluruh ayat
al-Quran. Bahkan menurut Rasyidi, ayat-ayat Al-quran yang mengandung hukum
lebih kurang 200 ayat, yakni sekitar 3% dari jumlah seluruhnya.[4]
Ketika qath’i adalah masdar dari qatha’a yaqtha’u-qath’an
yang berarti abana-yubinu-ibanatan: memisahkan, menjelaskan. Kata qath’i juga
berarti: decided (pasti, jelas), defenite
(tertentu), positive (meyakinkan), final, definitive (pasti, menentukan). Term
Qath’i terkadang juga disinonimkan dengan dharuri, yaqini, absolut, dan mutlak.
Ketika zhanni berasal dari kata zhanna-yazhunu-zhannun yang berarti syak
(samar) atau yang masih berupa asumsi, dugaan, anggapan, dan hipotesis.term
zhanni disinonimkan dengan kata nazhari, relatif, dan nisbi. Adapun al-dalalah
berasal dari kta dalla-yadullu-dalalah yang berati etunjuk. Berpangkal dari
pengertian-pengertian di atas, yang dimaksud dengan qath’i a l-dalalah adalah
petunjuk yang pasti atau jelas, sedangkan zhanni adalah petunjuk yang masih
berupa dugaan, asumsi, hipotsis, atau masih samar, sehingga bisa memungkinkan
timbulnya pengertian dan makna lain.
Banyak ulama ushul yang memberikan definisi tentang
qath’i al-dalalah. Sebagai reprentasi dari definisi-definisi tersebut, penulis
menukil pendapat dari tiga tokoh.
1. Abdul Wahab
Khalaf mendefinisikan qath’i al-dalalah sebagai suatu lafaz yang hanya dapat
dipahami dengan suatu makna dan tidak mengandung kemunkinan utuk dipahami sen
dengan makna yang ditunjukkan oleh lafaz tersebut.
2. Wahbah al-Zuhaily
ketika menjelaskan qath’i al-dalalah dalam kaitannya dengan nash Al-Quran,
mengemukakan bahwa nash qath’i al-dalalah adalah lafal ang dapat dipahami
maknany secara jelas dan hanya mengandung pengertian tunggal.
3. Mustafa Sa’id
al-Khan mendefinisikan qath’i al-dalalah sebagai teks yang lafal-lafalnya
menunjukkan makna yang dapat dipahami secara jelas,tidak ada kemungkinan untuk
melakukan ta’wil terhadapnya, dan tidak ada kemungkinan pemaham selain dari
makna tersebut.
Menurut Syamsul Anwar,
kecuali Asy-Syathibi (w.790 H/1388M), dikalangan ulama ushul yang datang
kemudian pengertian qath’i dan zhanni tidak banyak berbeda. Dalam hal ini
sering ditemukan ungkapan, “khabar mutawwatir menumbuhkankepastian”.kata-kata
yang digunakan untuk menyebut
“kepastian: seperti disinggung terdahulu, adalah al-ilim, al-yaqin ‘an
al-qath (dari kata terakhir ini diambil istilah qath’i). Di samping itu, ulama
yang mengatakan ‘khabar adalah yang menimbulkan dugaan kuat (zhann)”.
Memerhatikan uraian atau kutipan di atas, tampaknya isilah qath’i an zhanni
digunakan oleh para ulama ushul menjelaskan otoritas dalil-dalil untuk
melandasi pengetahuan ditinjau dari segi asal usul historis dalil-dalil itu
(wurud). Konsepsi qath’i dan zhanni seperti itu merupakan konsepsi yang dipakai
secara umum dalam karya-karya klasik ushul fiqh.
Berbeda engan
Asy-Syathibi dalam Al-muwafaqat fi Ushul Al-Ahkam menurut Syamsul Anwar,
ke-qath’i-an dan dalil-dalil syar’i harus digunakan bersama-sama apabila
dikendaki suatu tingkat kepastian lebih tinggi dalam kesimpulan. Ke-qath’i-an
pada masing-masing dalil secara individual tidak ada atau amat langka. Apabila
dalil-dalil itu berupa khabar ahad, ke-zhanni-an kesimpulan yang dihasilkan
adalah jelas namun, bila dalil berupa khabar mutawwatir (Al-Quran dan
As-Sunnah), ke-zhanni-annya disebabkan sejumlah faktor, antara lain:
1.
Adanya berbagai kemungkinan hitoris, misalnya telah
dinashkan oleh dalil lain;
2.
Adanya kemungknan-kemungkinan yang timbul dari
faktor-faktor gramatikal dan semantik, misalnya adanya perbedaan bacaan
(qiraat) yang disebabkan oleh perbedaan analisis sintaksis, adanya polisemi
(kegandaan makna, al-isytirak), dan banyak hal lainnya.
Ke-qath’i-an dari
penggunaan dalil-dalil secara bersama-sama. Dari gabungan dalil-dalil itulah
ditarik secara induktif suatu kesimpulan di mana dalil-dalil tersebut saling
berkolaborasi mendukung kesimpulan itu sehingga dapat diperoleh suatu
kepastian. Kebersamaan mendukung kekuatan yang tidak dapat dalam kesendirian.
Prinsip-prinsip inilah yang melandasi konsep qath’i dalam pandangan
asy-Syathibi. Misalkan, rukun Islam yang lima itu adalah qath’i dan
ke-qath’i-an artinyaa diperoleh dengan cara demikian, yakni dari berbagai ayat
dan sunnah yang menguatkan akan kewajiban (rukun iman). Kepastian kita tentang
wajibnya shalat fardhu yang lima, umpamanya, tidak semata-mata ditunjukkan oleh
firman Allah, “dan dirikanlah shalat” (Q.S. 2:43). Pabila orang yang berargumentasi
atas wajibnya shalat dengan dari kebersamaan firman tersebut dengan sejumlah
bukti lain saling berkolaborasi untuk mendukung pemaknaan perintah (amr) dalam
firman tersebut sebagai hal yang menunjukkan wajib. Misalnya, kita
menemukanpujian terhadap orang yang meninggalkan shalat, celaan terhadap orang
yang meninggalkannya, adanya perintah untuk mengerjakkan dalam keadaan duduk
bila tidak mampu berdiri, bahkan berbaring apabila tidak bisa duduk, an
sejumlah indikasi lain. Kebersamaan dalil-dalil ini yang menghasilkan kepastian
(qath’i) pada kita atas wajibnya shalat.
Senada dengan di atas,
menurut Quraish Shihab, yang juga menukil pendapat asy-Syathibi mengatakan
bahwa “kepastian makna” (qath’iyyah al-dalalh) suatu nash muncul dari
sekumpulan dalil dzhanni yang semuanya mengandung kemungkinan makna yang sama.
Terhimpunnya makna yang sama dari dalil-dalil yang beraneka ragam itu memberi
“kekuatan” tersendiri. Ini pada akhirnya beradadari keadaan masing-masing
daliltersebut ketika berdiri sendiri. kekuatan dari himpunantersebut
menjadikannya tidak bersifat dzanni lagi. Ia telah mengikat menjadi semacam
mutawatir ma’nawi, dan dengan demikian dinamailah ia sebagai qath’i al-dalalah.
Muhammad Fu’ad fauzi
Faidullah menjelaskan secara terperinci, hal-hal yang termasuk ke dalam
kriteria qath’i adalah sebagai berikut.
a.
Al-aqidayat, yaitu tentang iman kepada Allah, malaikat
kitab-kitab-Nya, rosul-rosul-Nya, hari akhir dan hal-hal yang berhubungan
dengan itu.
b.
Al-Akhlaqiyyat, yaitu yang berkaitan dengan nilai-nilai
moral, seperti baiknya kejujuran, buruknya kebohongan, dan semacamnya.
c.
Al-Dharuriyyat,
yaitu yang diketahui dari agama secara dhururi,meliputi al-Muqqaddarat,
yaitu ketentuan-ketentuan bilangan yang jelas dalam nash, seperti hukuman bagi
pezina, hukuman qadhaf, kaffarah, ketentuan jumlah hari-hari ‘iddah, dan
sebagainya.
d.
Al-yaqiniyyat, yaitu yang diketahui dari agama secara
dharuri dari segi tsubut dan dhalalah-Nya dan tidak ada seorang pun dari
kalangan ahli ijtihad yang menentangnya, seperti tentang wajibnya shalat,
zakat, puasa, haramnya zina, mencuri dan sebagainya.
e.
Al-Muabbadat, yaitu hukuman-hukuman juz’iyyat yang
diberlakukan abadi oleh syari’, seperti fadhuyyatulijtihad, tautsiq Al-Ushul ,
tahrim idha Al-Rasul, dan sebagainya.
f.
Al-Qawa’id Al-Ammah, yaaitu kaidah-kaidah yang selaludilestarikan
dalam tasyri hukum, seperti daf’u al-haraj, istisna al-darurraah, mana’al
–idrar bi al-kharin, dan sebagainya.
Sementara itu, sumber hukum atau dalil yang zhanni adalah
dalil hukum yang tidak pasti menunjukkan pengertian tertentu, tetapi hanya
dapat diupayakan oleh seorang mujtahid dan mufassir pada dugaan yang kuat
(zhan). Menurut Abdul Wahhab Khallaf, nash yang zhanniy adalah nash yang
menunjukkan suatu makna tertentu, tetapi masih mengandung kemungkinan
ta’wilatau penyimpangan makna dari makna semula atau makna dasar kepada
makna-makna yang lain. Menurut wahhab Al-Zuhaily, dzanni al-dalalah adalah
lafal yang mengandung lebih dari satu makna sehingga dapat ditakwilkan. Sa’id
Khan mendefinisikan dzanni adalah sebagai teks yang lafal-lafalnya menunjukan
suatu makna yang memungkinkan addanya pertakwilan dan pembelokan makna kepada
selain makna yang ditunjukkan oleh lafal-lafal tersebut.
Senada dengan itu, A.
Djazuli mendefinisikan nash yang zhanniy dalalah-nya dengan pengertian sebagai
berikut: “nash-nash yang zhanniy dalalah-nya adalah nash-nash yang menunjukkan
kepadasuatu arti, tetapi ada kemungkinan bisa ditakwilkan dan keluar dari arti
tersebut kepada arti lain.
Berdasarkan
pengertian-pengertian istilah qath’iy dan zhanniy di atas, dapat ditarik sebuah
pemahaman, sebagaimana yang dituturkan, bahwasannya pembahasan-pembahasan
istilah-istilah qath’iydan zhanniy tersebut berhubungan dengan masalah nilai
suatu dalil syara, baik dari sisi kebenaran sumbernya (al-tsubut atau
al-wurud), maupun kandungan maknanya (al-daalalah). Hal-hal yang qath-iy
(tegas) memberikan kepastian nilai dalil yang tidak diragukna lagi. Hal ini
berbeda dengan dalil yang zhanniy, yang nilai kebenarannya masih berupa dugaan.
Perbedaan penialaian tersebut fungsi dari nash itu sendiri dan alam
penempatannya. Dalam sistem hukum Islam, suatu dalil yang tertinggi nilainya
dan merupakan pegangan yang mutlak dalam menetapkan suatu hukum, serta tidak masuk kedalam lapangan ijtihad.
Adapun dalil yang bersifat zhanniy merupakan lapangan bagi ijtihad, yang hasil
dan ijtihad itu sendiri melahirkan ketapan hukum yang zhaniy pula.
Perinciaan yang termasuk
dalam kriteria zhanniy dalalah adalah sebagai berikut.
a.
Semua hukum amaliah yang bersumber dari dalil yang
bersifat dzanni al-wurud, seperti khabar ahad. Dalam hal ini mujtahid melakukan
pnelitian terhadap sanad.
b.
Semua hukum amaliah yang bersumber dari dalil yang
zhanniy al-dalalah. Dalam hal ini mujtahid melakukan penelitian terhadap
maknayang dikehendaki (al-makna al-murad)oleh suatu dalil untuk mengetahui
apakah makna yang dikendaki suatu lafal adalah bersifat am, muthlaq, dan
sebagainya. Selain itu, mujtahid meneliti sisi dalalah lafal terhadap makna
yang terkandung penunjukkan maknanya dengan ibarah, isyarah, atau dalalah
al-iqtidha.
Dalam membicarakan
qath’i dan zhanniy, qardawi sebagaimana pakar ushul fiqh yang lain, berpendapat
bahwa nash yang qath’i adalah nash yang tergabung di dalamnya dua hal yang
ketetapanya bersifat pasti (qath’iyyah al-dilalah). Menurutnya, dalil yang
ketetapannya bersifat pasti (qath’iyah al-tsubut) hanya ada dalam Al-Quran,
hadis-hadis mutawatir, dan hadis-hadis yang ada di dalam al-shahihain yang
dikategorikan ke dalam hadis-hadis mutawatir dan telah diterima umat, disertai
dengan berbagai konteks dan bukti-bukti lainnya yang mengangkatnya dari tingkat
zhann yng merupakan asal dan semua hadis ahd kepada tingkat yang pasti dan
yakin. (qath’i).
Bicara dalil yang
penunjukannya bersifat pasti (qath’iy al-dalalah), qardhawi berpendapat nash
yang hanya mempuyai satu penafsiran dan arah pandangan, baik dari segi
bahasanya maupun dari segi syariatnya. Atau yang ditunjukkan oleh berbagai
konteksnya bahwa ia tidak mungkin mengandung pemahaman yang lain.
Dalam kesempatan lain,
Qardhawi memberikan istilah qath’idengan tsabit yang artinya hukum yang pasti
yang bersumber langsung dari nash Al-Quran dan As Sunnah yang secara tegas
menyatakan kepastian hukumnya. Namun, menurutnya, walaupun kedudukan hukum yang
qath’i ini sangat penting sebagai asas bagipembentukan hukum, jumlah
hukum-hukum yang bersifat qath’i sedikit.
Walaupun sdikit,
kedudukan dan nilai nash yang qath’i ini
tidak akan bertentangan dengan kepastian yang berasal dari akal pikiran
(nalar), keyakinan ilmiah, dan kemaslahatan manusia pada umumnya. Selain itu,
dalil qath’i tidak mungkin bertentangan dengan dalil qath’i yang lainnya.
Kalaupun di duga adanya
penetapan antara dalil yang qath’i dengan kemaslahatan, menurut Qardhawi,
kemungkinan penyebabnya dua kemungkinan . pertama, kemaslahatan yang bersifat
zhanniatau yang diragukan dari akal manusia. misalnya menurutnya,
kemaslahatanmemperbolehkaan riba untuk berpihak kepada nvestor asing,
memperbolehkan khamar untuk kepentingan pariwisata dan wisataan asing, atau meembatalkan hukum hudud karena
penghormatan kepada negara modern. Kedua, boleh jadi nash yang dianggap qoth’i
tersebut berbicara sesuatu yang tidak qath’i yang menjebak para peneliti yang
tidak ahli dan belum memahami ilmusyariat atau belum menguasainya. Qarhawi
memberikan contoh pandangan Abdul Hamid Al-Mutawalli, seorang ahli hukum
perundang-undangan (taqnin), Qardhawi mengkritik seseorang yang selalu
mengabaikan nash yang qath’i menjadi zhanny. Ia memberi contoh, pandangan
Asmawiseorang hakim agung Mesir yang erkenl liberal tentang ayat keharaman
khamar (minuman keras). Menurut Asmawi,
tidaklah menunjukkan pengharaman yang tegas, namun hanya untuk diperintahkan
untuk menjauhinya dengan melihat lafadz “fajtnibu”. Menurut Qardhawi, pendapat
Asmawi ini suatu yang salah karena jelas menurutnya pengharaman khamer itu
termasuk nash yang bersifat qath’i sebab tentang khamer bukn wilayah untuk
ijtihad, namun sesuatu yang telah diketahui kepastiannya (al-ma’lumat min
al-dien bi al-Dharurah).
Demikian juga, Qardhawi
mengkritik orang yang memperdebatkan lagi tentang keharaman riba, daging babi,
maslah hak waris perempuan, kewajiban menutup aurat (hijab), kepemimpinan
laki-laki dalam rumah tangga, atau lain-lainnya secara tegasdi ungkap di dalam Al-Quran
secara qath’i al-tsubut wa al-dalalah
dan para ulama telah sepakat dalam fiqh, amal, teori, dan praktikselama belasan
abad sejak kelahiran Islam. Dengan demikian, di atas, di antara konteks dan
dalil itu ialah, konsesus umat dalam pemahan tersebut serta kesepakatan
berbagai kelompok dari mazhab umat atas pemahaman itu.
Dalam kesepakatan lain,
Al-Qardhawi berpandangan, masalah-masalah yang qath’iydalam kajian hukum Islam
adalah masalah-masalah hukum yang diketahui umum, diberlakukan secara umum, mengikat
semua pihak, dan tidak tepat menerima interpretasi lainlagi. Pengertiannya
sedemikian jelas dan otentik, baik dalam teori maupun praktik. Masalah-masalah
itu diketahui secara berkesinambungan sejak zaman Rasulullah SAW., berlanjut
dari genetasi ke generasi yang akan datang . jenis aturan-aturan hukum yang
demikian merupakan bagian dan pengertian mujma ‘alaih wa ma’lum min al-din bi
al-dharurat.
Sementara menurut
Al-Qardhawi, zhanniy al-dalalah adalah dalil-dalil yang memungkinkan penafsiran
yang berbeda dan dijadikan wilayah ini sebagai lapangan ijtihad sehingga
dimungkinkan adanya pertarungan berbagai paham sehingga fiqh Islam mengalami
perkembangan dan regenerasi.
Dengan demikian
pandangan Al-Qardhawi tentang qath’iy dan zhanniy hampir sama dan keumuman para
ulama ushul fiqh, namun ia menekankan bahwa harus ada sikap yang jeli dan
teliti dalam menelaah dan menyeleksi mana yang zhanniy. Dalam titik ini,
Al-Qardhawi belum sampai menjelaskan secara tuntas apakah kriteria dalam
menentukan qath’iy dan zhanniy al-dalalah itu?karena, bagaimanapun, dalam hal
ini sering terjadi perbedaan di kalangan ulama dalam menentukan suatu dalil
atau masalah hukum termasuk qath’iy atau zhanniy.
B. Nash Hukum yang Tetap (Tsabit)Dan yang Bisa Berubah
(Mutaghayyirat)
Dalam syariat
Islam terdapat aspek-aspek yang tetap (tsabit) yang menjadi sandaran fiqh
Islam. Dengan demikian, tidak boleh ada upaya pengebirian terhadap berbagai
ketetapan tersebut. Sebab, syariat merupakan bagian dari fitrah dan realitas
manusia yang selalu ada dan senantiasa melekat kuat. Dalam syariat Islam
terdapat pula berbagai kaidah yang mengandung unsur-unsur dinamis yang
memungkinkan syariat tersebut tetap berlaku di setiap zaman. Tentang persoalan
ini, Yusuf Qardhawi mengatakan:“di antara manusia, ada orang yang
menyembunyikan rasa takut, untuk menyerukan kembali kepada syariat dan fiqh
Islam serta mengambil syariat sebagai asas penetapan hukum dan putusan. Sumber
ketakutan tersebut ada dua macam, yakni prinsip ketuhanan dan sifat keagamaan
yang ada di dalam fiqh Islam. Telah disepakati bahwa kedua sumber pokokfiqh
Islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam pandangan mereka, hal demikian
menuntut adanya pemberian status ‘tetap’ dan ‘statis’ terhadap fiqh Islam serta
upaya mendudukkan rasio manusia di hadapan fiqh tersebut dengan sikap pasrah
dan taklid; tanpa sikap kreatif, karena tidak ada ruang bagi akal dihadapan
waktu dan tidak ada tempat bagi itihad dihadapan nash.
Sementara cabang-cabang syariat Islam yang dikenal dengan
masalah furu yang parsial bersifat elastis dan bisa berubah sehingga di
dalamnya terdapat potensi dianamika. Keberadaannya adalah seperti berbagai perubahan
parsial yang terjai di alam semesta dan kehidupan yang selalu mengikuti
dinamika manusia. inilah yang menurut Al-Qardhawi bagian dari sunatullah.
Selanjutnya, menurut Al-Qardhawi , mengapa fiqh Islam
mengandung aspek perubahan (mutaqhayyir) yang dalam bahasa ia al-murunah
(elastisitas)? Nal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu sebagai berikut.
1. Allah sebagai
pembuat hukum tidak menetapkan secara taken for granted segenap hal, bahkan ia
membiarkan adanya suatu wilayah yang luas tanpa teriat dengan nash. Tujuaanya adalah
untuk memberikan keleluasaan, kemudahan, dan rahmat bagi makhluk-Nya.
2. Sebagian besar
nash datang dengan prinsip-prinsip yang umum dan hukum-hukum univrsal yang
tidak mengemukakan berbagai perincian dan bagian-bagiannya, kecuali dalam
perkara yang tidak berubah karena perubahan tempat dan waktu seperti dalam
perkara-perkara ibadah, pernikahan, talak, warisan, dan lain-lain. Pada selain
perkara-perkara itu, syariat Islam cukup menetapkan secara umumdan global.
Misalnya Allah berfirman:
“sungguh, Allah menyuruhmu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan
hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkan dngan adil....” (Q.S.
An-Nisa’ [4]:58).
3. Nash-nash yang
berkaitandengan hukum-hukum yang parsial menghadirkan suatu bentuk yang
mukjizat yang mampu memperluas berbagai pemahamandan penafsiran, baik secara
ketat maupun secara longgar, baik menggunakan harfiah teks maupun yang
memanfaatkan substansi dan maknanya. Jarang sekali ditemukan teks-teks yang
tidak menyebabkan variasi makna-maknanya dan panggilan hukum-hukum dari teks
tersebut. Semua itu berpulang pada watak bahasa dan berbagai funfsinya.
4. Dalam pemanfaatan
wilayah-wilayah terbuka dalam penetapan atau penghapusan hukum Islam terdapat
kemungkinan untuk memanfaatkan berbagai sarana yang beranekaragam, yang
menyebabkan para mujtahid berbedapendapat dalam penerimaandan penentuan batas
penggunaanya. Di sinilah kemudian muncul peranan qiyas, istihsan, mira’ah
al-urf, istishab, dan lain-lain, sebagai dalil-dalil bagi semua yang tidak
ditemukan nashnya.
5. Adanya prinsip
pengantisipasian berbagai keadaan darurat, berbagai kendala, serta berbagai
kondisi yang dikecualikan dengan cara menggunakan hukum atau meringankannya.
Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dan membantu manusia karena kelemahan
mereka dihadapan berbagai keadaan darurat memaksa serta kondisi-kondisi yang
menekan. “adhdharurat tubihu al-mahzurat (berbagai kondisi darurat menyebabkan
bolehnya hal-hal yang terlarang)”.
Dengan
demikian, jelaslah berbagai perbedaan antara apa yang tetap dn apa yang
berubah, sebagaimana telah jelas pula kemampuan syariat fiqh ialah yang
sempurna dalam menampung seluruh perkembangan positif yang mampu mengayomi umat
manusia.
Islam
yang menjadi penutup syariat-syariat terdahulu telah Allah lengkapi dengan
unsur keniscayaan dan keabadian, sekaligus unsur perubahan dan perkembangan
dalam agama ini dan skaligus ciri universalitas, keabadian, dan relevansinya
terhadap perkembangan zaman.
Hal
di atas, menurut Al-Qardhawi, disebabkan tabiat kehidupan manusia memiliki
unsur yang tetap dan abadi sepanjang waktu, di samping unsur yang dpat berubah
dan berkembang. Apabila kita melihat alam sekitar, kita dapat menemukan hal-hal
yang tetap selama beribu-ribu tahun, seperti bumi, langit, gunung, laut, malam,
siang, matahari, bulan, dan bintang yang beredar pada gugusnya masing-masing.
Kita juga dapat mnemukan hal-hal yang berubah, seperti pulau-pulau yang muncul,
laut yang surut sungai yang digali, air yang membasai tanah, tempat kering yang
menyerap air dan mnjadi subur, sahara tandus yang menjadi hijau, negara yang
dibangun, kota yang hancur, tanaman-tanaman yang menjadi subur dan layu
sehingga kering dan berguguran diterpa angin.
Seperti
inilah keadaan manusia dan alam: tetap dan berubah pada waktu yang sama; tetap
dalam hukum-hukum yanguniversal dan berubah dalam hukum-hukum yang
parsial. Apabila perubahan merupakan
hukum alam dan kehidupan, demikian juga ketetapan merupakan hukum pasti yang
berdiri sendiri.
Di
antara para filsufklasik ada yang berpendapat bahwa hukum abadi yang berlaku
bagi seluruh alam adalah perubahan. Ada juga yang berpendapat sebaliknya, yaitu
menganggap ketetapan merupakan sifat dasar atau esensi yang berlaku umum bagi
seluruh alam. Kedua pendapat tersebut merupakan sesuatu yang beriringan dalam
alam dan kehidupan, baik yang dapat disaksikan maupun yang hanya dirasakan.
Dengan demikian, tidak aneh jika syariat Islam sesuai dengan fitrah eksistensi
manusia yang memadukan prinsip yang tetap (tsabat) maupun yang berubah
(mutaghayyir).
Perpaduan
ini merupakan keistimewaan yang menjadikan masyarakat Muslim dapat hidup,
berkembang, dan berprestasi dalam mengatasi pokok-pokok ajaranagama yang tetap
dengan perangkat pengetahuan, metode dan sarana yang berubah. Pokok ajaran yang
tetapa dapat menjaga eksistensi masyarakat Muslim dari kehancuran, kebinasaan,
kontaminasi, dan perpecahan. Ia juga merupakan sebuah aturan dinamis yang
diyakini oleh masyrakat Muslim dapat menyeimbangkan interaksi antar individu yang
dibangun di atas fondasi yang kukuh dan tidak akan musnah oleh hawa nafsu dan
perubahan sosial politik. Sebaliknya, perangkat pengetahuan yang berubah yang
dapat menyesuaikan masyarakat Muslim dengan kondisi perubahan zaman dan situasi
dan kehidupan. Perubahan tersebut sama sekali tidak menghilangkan jati diri
umat Islam.
Terdapat
beragam bukti dan dalil bagi syariat yang tetap dan berubah, baik dari
sumber-sumber ajaran Islam, syariat, maupun sejarahnya. Syariat yang tetap,
bisa dilihat dari sumber-sumber teks syariat yang sah dan pasti (qath’i) , baik
dari al-quran sebagai sumber undang-undang, maupun As-Sunnah sebagai penjelasan
Al-Quran. Kedua sumber wahyu yang tidak bisa ditolak oleh seorang Muslim
tersebut merupakan wahyu yang kesuciaannya terpelihara. Allah SWT. berfirman, “katakanlah, ‘taatlah kepada Allah
dan taatlah kepada Rosul’ (Q.S. An-Nur [24]: 54). “hanya ucapan orang-orang
mukmin, yang apabila mereka diajak kepada Allah dan Rosul-nya agar Rosul
memutuskan (perkara) diantara mereka, mereka berkata, ‘kami mendengar, dan kami
taat’.” (Q.S. An-Nur [24]: 51)
Syariat
yang berubah bisa dilihat dalam sumber-sumber ijtihad yang sering menjadi bahan
perdebatan di antara fuqaha tentang tingkat validitas argumennya-yaitu antara
yang meluaskan dan menyempitkan, serta yang menyedikitkan dan memperbanyak
cakupannya, seperti ijmak, qiyas, istishan (prinsip kebaikan),
al-mashlahah-al-mursalah (kemaslahatan umum) , pendapat para sahabat, syariaat
umat terdahulu, dan sebagainya yang merupan metode-metode ijtihad dan
istinbath.
Dalam
kesempatan lain, Al-Qardhawi menegaskan bahwa hukum-hukum syariat yang tetap
(tsabit) dapat ditemukan dalam perkara-perkara
berikut ini.
·
Pertama, rukun iman, yaitu iman kepada Allah, Malaikat,
kitab kitab, para rasul dan hari akhir
·
Kedua, lima macam rukun Islam, yaitu pernyataan dua
syahaat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, dan haji. Hal itu sesuai dengan hadis
Nabi bahwa Islam dibangun di atas lima rukun ini.
·
Ketiga, perkara perkara yang diyakini keharamannya,
seperti membunuh, zina, memakan riba, memakan harta anak yatim, menuduh zina
perempuan mukmin suci, memfitnah, dan yang secara pasti telah diharamkan oleh
Al Qur’an dan As-Sunnah.
·
Keempat, akhlak mulia, seperti, jujur, amanat, pemaaf,
sabar, menepati janji, rasa malu, dan sebagainya yang dianggap oleh Al Qur’an
dan As-Sunnah sebagai bagian dari keimanan.
·
Kelima, syariat Islam yang pati (qath’i), seperti pernikahan,
talak, warisan dan sebagainya yang telah ditetapkan oleh dalil agama.
Semua hal tersebut merupakan ajaran
yang tetap. Tidak akan berubah walaupun gunung gunung runtuh. Ajaran tersebut
sesuai dengan AlQur’an, As- Sunnah dan Ijmak. Dewan, senat, khalifah, dan
pemimpin manapun tidak berhak untuk menghapus syariat seperti itu. Sebab,
syariat tersebut merpakan prinsip umum, kaidah – kaidah dan dasar dasar agama.
C.
Hubungan Penetapan qath’iy -Zhanniy dan
Tsabit-Mutaghayyir dengan Ijtihad
Ijtihad, menurut bahasa adalah pengerahan segala
kesanggupan untuk mengerjakan “sesuatu yang sulit”. Oleh sebab itu, salah
apabila istilah ijtihad diterapkan pada pengerjaan sesuatu yang mudah atau
ringan. Senada dengan pengertian kebahasaan itu, bagaimana ulama ushul
mendefinisikan ijtihad sebagai usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap
kemampuan, baik dalam menetapkan hukum-hukum syara’ maupun untuk mengamalkan
dan menerapkannya.
Dalam menguraikan pembahasaan dalam mengenai ruang gerak
ijthad, Ali Yafie mengatakan bahwa sebagian materi hukum dalam al-qur’an dan
as-sunnah sudah berbentuk dictum yang otentik (tidak mengandung pengertian
lain), atau sudah diberi interprestasi otentik dalam sunah sendiri. Materi
hukum seperti ini disebut qath’iyyat. Juga ada diantaranya yang sudah
memperoleh kesepatan bulat dan diberlakukan secara umum serta mengikat semua
pihak. Materi hukum seperti ini disamakan dengan yang otentik tersebut, dan
disebut dengan ijma. Wujud dan sifat ajaran agama atau hukum islam yang
demeikian itu tidak lagi masuk dalam ruang gerak ijtihad.[5]
Ruang gerak dan jangkauan ijtihad, diluar masalah-masalah
mujma alaih wa ma’lum min al-din bi al- darurat dan materi-materi hukum yang
sudah bersifat qath’iyyat dan tidak memiliki interprestasi otentik dari sunnah
zhanniyat. Dalam masalah-masalah zhanniyat dimungkinkan adanya lebih dari satu
interprestasi. Karena itu, ia bersifat mukhtalaf fih: menampung terjadinya
perbedaan pendapat dikalangan para mujtahid. Dengan demikian dimungkinkan
adanya variasi dalam pelaksanaan atau ketentuan dalam hukum seperti itu.
Adanya pembagian qath’iy-dzanniy al-dalalah tampaknya
hubungannya sangat erat dan upaya membedakan antar unsur-unsur statis, tetap
(tsawabit), dan unsur-unsur diamis berubah (mutaghayyirat/tathawwurat) dalam
hukum islam cukup merujuk pada nash yang qath’iy. Demikian juga, yang taghayyur
cukup merujuk pada nash yang dzanni.
Namun, penelusuran tsawabit tahtawurat dengan cara diatas
bukanlah satu-satunya jalan. Untuk mengetahui tsawabit dan tahtawurat harus juga
memperhatikan kaidah al-wasail dan al-maqasid, yaitu bahwa dalam penerapan
suatu hukum harus terdapat aspek yang merupakan sarana (al-wasil) da nada yang
merupakan tujuan (al-maqasid) dan mana dalil yang kulli dan juz’iy. Menurut
Isham Thalimah, hal inilah yang menjadi karakter metodologi Al-Qardawi dalam
rumusan ijtihadnya.
Contoh
berikut akan memberikan gambaran yang menjalaskan aspek tersebut. musyawarah
(syura) merupakan inti yang dimaksudkan dari salah satu perintah dalam al-quran
sedangkan dalam hal untuk mewujudkannya merupakan sarana (wasail). Al-qur’an
tidak memberi penjelasan yang baku mengenai wasail untuk mewujudkan syura. Oleh
sebab itu, wasail dapat berupa aneka bentuk dan cara untuk mewujudkannya syura
itu misalnya ditarik dalam konteks kenegaraan, untuk mewujudkan syura
sebagaimana maksud perintah al-quran bisa dengan perantaraan bentuk negara
republic atau bentuk demokrasi. Dengan demikian, wasail semacam ini bersifat
dinamis (muthathawir) dan karenanya boleh mengambil bentuk yang macam-macam
sesuai dengan perkembangan situasi. Penting untuk dicatat bahwa tidak semua
wasail bersifat dinamis karena sebagian dari nya bersiat stabil. Misalnya,
wudhu, meskipun merupakan wasilah untuk keabsahan shalat, ia bersifat tsabit
karena syar’I te;ah membakukan tata caranya secara terperinci. Jadi, untuk
membedakan tsawabit dan taghayyurat tidak cukup hanya berpedoman pada
klasifikasi Qath’iy-dzanni, tetapi tentang wasail tersebut.untuk membedakan
keduanya cukup rumit tidak semua orang mampu mengungkapkannya.[6]
Sampai
pada tataran ini, cukup beralasan untuk dikatakan bahwa kesulitan
mengklasifikan tsawabit dan taghayyurat itu antara lain disebabkan oleh
kesulitan menentukan dalil mana yang disepakati sebagai yang qhat’I untuk
menetapkan hal-hal yang merupakan tsawabit. Dalam konteks pembicaraan diatas,
Yusuf Al-Qardawi sangat menekankan pengetahuan tetang qath’I dan zanni bagi
kalangan mujtahid. Hal ini sangatlah penting untuk mengetahui wilayah ijtihat
dan perubahan fatwa. Oleh karena itu, Qardawi sangat memperhatikannya sebagai
prasyarat bagi siapa saja yang berijtihad.
Menurutnya,
pengetahuan tentang qath’I dan zanni al-dalalah merupakan tanda dari kefakihan
seseorang dan keluasannya dalam masalah-masalah fiqh. Sebab salah satu bencana
yang menimpa mereka yang sedang mendalami figh dan orang yang terjun didalamnya
adalaha kekurangpahaman mereka secara mendalam entang titik-titik penting
ijma.bahkan, dikalangan mereka terdapat pemahaman bahwa semua khazanah dan
warisan fiqh yang kini telah menguasai pikiran banyak orang, baik dari kalangan
orang-orang yang sedang dalam belajar fiqh maupun yang telah terjun, merupakan
titik kesepakatan yang tidak ada perselisihan lagi didalamnya. [7]
Dengan
demikian, dalil-dalil yang qath’iy harus tetpa dipertahankan agar qhat’iy
(definite), tidak boleh diubah menjadi dalil yang zannni (interpretable).
Demikian pula, dalil-dalil yang zanni harus dipertahankan agar zanniy tidak
boleh diubah menjadi dalil yang qhat’iy. Hal disebabkan ada beberapa masalah
yangpada awalnya dianggap oleh orang-orang yang mempelajarinya sebagai satu hal
yang qath’I, namun tatkala diteliti secara mendalam dan jeli ternyata masalah
tersebut adalah sesuatu yang zanni. Diketahui bahwa masalah ini bukanlah
masalah yang telah disepakati oleh seluruh ulama. Dan masalah tersebut ternyata
terdapat perbedaan fuqaha, dua ataupun lebih dari dua.
Al-Qardawi mengingatkan
bahwa masalah-masalah yang bersifat qath’I maka disana tidak ada ruang
untuk melakukan ijthad. Sesungguhnya ijtihad itu hanya bisa dilakukan dalam
halhal yang bersifat zanni. Ia berkata, “ hendaknya kita semua ingat bahwa
ruang ijtihad yang terbuka bagi umat adalah hukum-hukum yang dalilnya masih
bersifat zanni. Adapun hukum yang bersifat
qaht’I maka tidak ada jalan bagi siapa pun untuk melakukan ijtihad.
Ke-zanni-an satu dalil dilihat dari sudut ke-tsubut-annya ataupun dari segi
dilalah atau dari keduanya”.
Dengan
demikian, tidak boleh ada ijtihad pada hukum yang tekah ditetapkan
al-qur’an dengan dalili-dalil yang
qhat’I. seperti kewajiban puasa atas umat ini, atau keharaman minuman keras,
harammnya daging babi dan praktik riba, atau kewajiban untuk memotong tangan
pencuri jika tidak ada keraguan dan syarat-syarat yang terpenuhi. Juga
pembagian harta warisan seorang ayah bahwa anak laki-lakinya mendapat dua
bagian dari anak perempuannya. Selain itu, masalah-masalah lain yang dengan
tegas telah ditatpkan oleh al-qur’an dan as-sunnah , dan telah disepakati oleh
umat serta telah diketahui secra umum sebagai tonggak-tonggak penyatu pemikiran
moralitas umat.
Berdasarkan
hal tersebut, bahwa dalam berijtihat al-Qardawi kembali menempuh jalan tengah
(moderat), yakni ia ingin melakukan itsbatu tsawabit wa tagyirul mutaghayyirat
(mempertahankan hal-hal yang sudah baku dan mengubah hal-hal yang memang sifatnya
dapat berubah/elastis). Sikap ini merupakan jalan tengah diantara jalan
ekstream lainnya yaitu; isbatu tsawabit wa itsbat al mutagahyyirat (menetapkan
yang sudah baku dan mempertahankan yang sifatnya elastis) dan tagyirus tsawabit
wa tagyir al mutaghayyirat (mengubah yang sifatnya baku dan mengubah yang
sifatnya dinamis). Dan tagyirus tsawabit wa itsbat al-mutagahyyirat (mengubah
hal yang baku dan mempertahankan hal yang elastis). [8]
Inilah
keunggulan pemikiran Al-Qardawi tentang Ijtihad kontemporer. Ia telah menetukan
rambu-rambu yang jelas untuk berijtihad pada zaman ini. Sikap setiap muslim
terhadap masalah-masalah ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’iy al tsubut
dan qath’iy al-dalalah harus menerimanya dengan senang hati dan pasrah, seperti
yang dijelaskan Allah SWT dalam surah Al-Ahzab ayat 36.
Berdasarkan
pemikiran diatas, Al-Qardawi membantah seruan Presiden Tunisia, Habib Bourguiba
yang memerinthkan agar bagian warisan anak laki-laki disamakan dengan bagian
anak perempuan. Dalam pidato pembukaan seminar internasional tentang kebudayaan
dan kesadaran bangsa 18 mei 1974 di Tunis. Bourguiba mengatakanbahwa ayat
Al-Qur’an yang menjelaskan bagian anak laki-laki dua kali lipat dari bagian
anak perempuan diturunkan situasi social budaya tertentu. Pada saat itu
kedudukan laki-laki lebih unggul dibandingkan dengan kedudukan perempuan,
bahkan anak perempuan dikuburkan hidu-hidup. Sementara situasi sossial sekarang
ini sudh berubah, kedudukan perempuan sudh sederajat dengan laki-laki dalam
segala bidang, seperti dalam bidang pendidikan, aktivitas pertanian, lapangan
pekerjaan, dan kepolisisan, kecuali dalam pembagian harta warisan.oleh karena
itu perlu dilakukan ijtihad karena hukum islam dapat mengikuti perkembangan
social budaya pada setiap zaman.[9]
Ijtihad
yang disebutkan Bourguiba itu tidak boleh (haram) dilakukan karena nash yang
menjelaskan pembagian waris itu adalah nash yang qath’iy al-tsubut dan qath’iy
al-dalalah. Seruan yang dikemukakan Presiden Tunis itu dimunculkan kembali di
Indonesiapada tahun 1980an oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali yang dikemas
dengan gaya ilmiah. Menurut Al-Qardawi, mereka yang berani mempermainkan nash
yang qath’iy dengan berpura-pura melakukan ijtihad, tidak boleh dibiarkan
berkembang, karna hukum-hukum yang ditetapkan dengan dalil yang qath’iy
merupakan pilar kesatuan akidah, pemikiran dan prilaku umat isalm diseluruh
dunia. Dalil-dalil yang qath’iy ini bagikan gunung-gunung dibumi yang dapat
melindunginya dari kegoncangan. Diantara yang mempermainkan ayat-ayat yang
qath’iy adalah mereka yang berpendapat bahwa daging babi yang diharamkan
al-Qur’an adalah babi yang itu makanannya kotor sehingganya dagingnya dianggap
najis. Adapun sekarang babi dipelihara dan diberi makan dengan makanan yang
baik dan bersih, tidak sama dengan babi zaman dahulu (pada zaman nabi) sehingga
babi menjadi halal sekarang. ajaran islam yang qath’iy merupakan identitas
kepribadian umat yang harus tetap dipertahankan sepanjang zaman. Memang hukum
dan perubahan social (social change) saling mempengaruhi. Hukum dapat berubah
mengikuti perubahan social yang terjadi, tetapi dalam konteks hukum islam, yang
dapat berubah hukum yang dapat ditetapkan degan dalil-dalil zanniy, bukan
ditetapkan dengan dalil yang tegas dan pasti yang merupakan hal-hal yang sudah
baku. Selain itu hukum tidak selamanya “menyerah” pada perubahan social.
Karena, hukum juga berfungsi sebagai rekayasa social (social engineering),
pengendali masyarakat (social control), dan penyejahttera masyarakat (social
welfare). [10]
BAB
III
PENUTUP
[1] Romli SA, “Konsep Qath’iy-Zhanniy serta Implikasinya dalam Istinbath Hukum”, dalam jurnal Intizar, Vol. 21, No. 1, 2015, h. 150
[2] Badri
Khaeruman, Hukum Islam dalam perubahan
Sosial, ( Bandung:CV Pustaka setia, 2010),h.55
[3] Ibid.,
[4] Ibid.,
h. 56
[5] Badri
Khaeruman, Hukum Islam dalam perubahan
Sosial, ( Bandung:CV Pustaka setia, 2010),h.72-73
[6] Ibid…, h. 74
[7] Ibid…, h. 75
[8] Ibid…, h. 76
[9] Ibid…, h. 77
[10] Ibid…, h.78
Comments
Post a Comment