Skip to main content

Makalah Musyarakah Mutanaqisah


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian
Musyarakah mutanaqisah merupakan produk turunan dari akad musyarakah. Musyarakah Mutanaqisah adalah bentuk akad kerjasama dua pihak atau lebih dalam kepemilikan suatu aset, yang mana ketika akad ini telah berlangsung aset salah satu kongsi dari keduanya akan berpindah ke tangan kongsi yang satunya, dengan perpindahan dilakukan melalui mekanisme pembayaran secara bertahap. Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain.
Produk Musyarakah Mutanaqishah (MMQ) telah diterapkan oleh beberapa Bank Syariah yang meliputi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat untuk memiliki suatu aset tertentu melalui pembiayaan berbasis kemitraan bagi hasil antara pihak Nasabah dan Bank yang pada akhir perjanjian seluruh aset yang dibiayai tersebut menjadi milik Nasabah. Contoh dalam prakteknya, ketika Bank dan Nasabah ingin memiliki suatu aset akhirnya mereka bekerjasama dalam modal dengan persentase yang telah terkontrak. Kemudian Nasabah melakukan pengangsuran dana menurut modal kepemilikan aset yang dimiliki oleh bank. Maka terjadilah perpindahan kepemilikan aset dari bank kepada Nasabah menurut jumlah dana yang telah diangsur kepada Bank. Sampai akhirnya semua aset kepemilikan bank telah berpindah ke tangan ke Nasabah.Produk Musyarakah Mutanaqishah dapat diaplikasikan bentuk pembiayaan yang bersifat produktif maupun konsumtif. Jenis pembiayaan ini dapat diaplikasikan untuk tujuan pembiayaan kepemilikan aset seperti rumah maupun kendaraan baik baru maupun lama.[1]
Dari sini kita dapat memahami bahwa Musyarakah Mutanaqishah adalah akad kerajasama antara dua pihak (Bank dengan Nasabah), dalam kepemilikan suatu asset, yang mana ketika akad ini telah berlangsung asset salah satu kongsi dari keduanya akan berpindah ke tangan kongsi yang satunya, dengan perpindahan dilakukan melalui mekanisme pembayaran secara bertahap.
Produk Musyarakah Mutanaqishah telah diterapkan oleh beberapa Bank Syariah yang meliputi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat untuk memiliki suatu aset tertentu melalui pembiayaan berbasis kemitraan bagi hasil antara pihak Nasabah dan Bank yang pada akhir perjanjian seluruh aset yang dibiayai tersebut menjadi milik Nasabah. Pengalihan kepemilikan aset tersebut melalui cara Nasabah mengambil alih porsi modal (hishshah) dari Bank secara angsuran berdasarkan suatu metode pembayaran tertentu selama jangka waktu kontrak yang disepakati bersama. Produk Musyarakah Mutanaqishah dapat dilakukan untuk tujuan pembiayaan kepemilikan aset seperti rumah maupun kendaraan baik baru maupun lama. Struktur produk berbasis akad Musyarakah Mutanaqishah dibuat secara multiakad (hybrid) yang selain akad Musyarakah terdiri atas akad ijarah (leasing), ijarah mawsufah fi zimmah (advance/forward lease), bai al musawamah (penjualan) ataupun akad istisna (manufaktur)

B.     Dasar Hukum
Lembaga perbankan adalah highly regulated industry, apalagi perbankan syariah selain terikat oleh rambu-rambu hukum positif sistem operasional bank syariah juga terikat erat dengan hukum Allah, yang pelanggarannya berakibat kepada kemadharatan di dunia dan akherat. Oleh karena uniknya peraturan yang memagari seluruh transaksi perbankan syariah tersebut, dalam kajian ini akan dicoba dibahas mengenai pelaksanaan akad terutama musyarakah mutanaqishah yang dapat dilaksanakan di bank syariah.
Sandaran hukum Islam pada pembiayaan musyarakah mutanaqishah, pada saat ini, dapat disandarkan pada akad musyarakah (kemitraan) dan ijarah (sewa). Karena di dalam akad musyarakah mutanaqishah terdapat unsur syirkah dan unsur ijarah.[2]

Dalil hukum musyarakah adalah:
1.      Al-Qur’an
Al-Qur’an Surat Shad [38], ayat 24 :


"…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini…."


Al-Qur’an Surat al-Ma’idah [5], Ayat 1:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.

2.      Hadis
Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata:
“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).

Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

3.      Fatwa DSN – MUI
Fatwa DSN yang mengatur akad MMQ ialah Fatwa DSN No. 73/DSN-MUI/XII/2008 tentang Musyarakah Mutanaqishah, Keputusan Dewan Syariah Nasional No.01/DSN-MUI/X/2013 tentang Pedoman Implementasi Musyarakah Mutanaqishah dalam Produk Pembiayaan, Pernyataan Kesesuian Syariah DSN-MUI No.U-257/DSN-MUI/VIII/2014 tentang Penjelasan butir 6 huruf a dalam Keputusan DSN No.01/DSN-MUI/X/2013 tentang Pedoman Implementasi Musyarakah Mutanaqishah dalam produk pembiayaan.
Lembaga Keuangan Syariah dapat mengambil fatwa tersebut untuk mengembangkan produknya. Sehingga kesenjangan akad pada pembiyaan tersebut dapat terselesaikan dan keterbatasan-keterbatasan yang ada pada akad murabahah dapat ditutupi oleh akad Musaraqah Mutanaqisah ini. Kemudian, dampak dari variasi akad akan membuat nasabah memilih sesuai dengan keinginan, kemampuan dan kebutuhannya.

C.    Syarat dan Rukun Musyarakah Muntanaqishah
1.      Rukun-rukun  Musyarakah Muntanaqishah :
a.       Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
b.      Objek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh),
c.       Shighah, yaitu Ijab dan Qabul
2.      Syarat-syarat  Musyarakah Muntanaqishah :
a.        Syarat akad
Ada empat syarat akad:
1)      Syarat berlakunya akad (In’iqod)
2)      Syarat sahnya akad (shihah)
3)      Syarat terealisasikannya akad (Nafadz)
4)      Syarat Lazim
b.       Pembagian proporsi keuntungan. Dalam pembagian proporsi keuntungan harus dipenuhi hal-hal berikut:
1)   Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada para mitra usaha harus disepakati di awal kontrak/ akad. Jika proporsi belum ditetapkan , akad tidak sah menurut  syariah.
2)      Rasio /nisbah keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus ditetapkan sesuai dengan keuntungan nyata yang diperoleh dari usaha, dan tidak ditetapkan berdasarkan modal yang disertakan. Tidak diperbolehkan untuk menetapkan lumsum untuk mitra tertentu, atau tingkat keuntungan tertentu yang dikaitkan dengan modal investasinya.
c.        Penentuan proporsi keuntungan. Dalam menentukan proporsi keuntungan terdapat beberapa pendapat dari para ahli hukum Islam sebagai berikut:
1)   Imam malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa proporsi keuntungan dibagi di antara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad sesuai dengan proporsi modal yang disertakan.
2)      Imam Ahmad berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat pula berbeda dari proporsi modal yang disertakan.
3)      Imam Abu Hanifah, yang dapat dikatakan sebagai pendapat tengah-tengah, berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal..
d.       Pembagian kerugian. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa setiap mitra menanggung kerugian sesuai dengan porsi investasinya.
e.        Sifat modal. Sebagian besar ahli hukum Islam berpendapat bahwa modal yang diinvestasikan oleh setiap mitra harus dalam bentuk modal likuid.
f.        Manajemen musyarakah. Prinsip normal dari musyarakah bahwa setiap mitra mempunyai hak untuk ikut serta dalam manajemen dan bekerja untuk usaha patungan ini. Namun demikian, para mitra dapat pula sepakat bahwa manajemen perusahaan akan di dilakukan oleh salah satu dari mereka, dan mitra lain tidak akan menjadi bagian manajemen dari musyarakah.


g.       Penghentian musyarakah
1)   Setiap mitra memiliki hak untuk mengakhiri musyarakah kapan saja setelah menyampaikan pemberitahuan kepada mitra lain mengenai hal ini.
2)      Jika salah seorang mitra meninggal pada saat musyarakah masih berjalan, kontrak dengan almarhum tetap berakhir/dihentikan.
3)   Jika salah seorang mitra menjadi hilang ingatan atau menjadi tidak mampu melakukan transaksi komersial, maka kontrak musyarakah berhasil.
h.   Penghentian musyarakah tanpa menutup usaha. Jika salah seorang mitra ingin mengakhiri musyarakah sedangkan mitra lain ingin tetap meneruskan usaha, maka hal ini dapat dilakukan dengan kesepakatan bersama. [3]

D.    Aplikasi Musyarakah Muntanaqishah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
Musyarakah Muntanaqishah di dalam Lembaga keuangan Syariah menurut Muhammad Syafii Antonio di aplikasikan kepada dua produk perbankan syariah, dua produk itu adalah pembiyaan proyek dan modal ventura. Praktik pembiyaan oleh bank dengan akad musyarakah, pihak bank memberi pembiyaan kepada pihak pengelolah proyek setelah proyek selesai, maka pihak pengelolah proyek mengembalikan pinjaman kepada pihak bank dan juga membagi hasil dengan pihak bank sesuai dengan kesepakatan. Ada pun praktik bank memberi modal kepada pihak pengelolah perusahaan dan pihak perusahaan, mengelolah modal tersebut dengan batas waktu yang disepakati dan setelah jatuh tempo pihak perusaan mengembalikan modal dan membagi hasil dari pengelolahan tersebut.[4]
Menurut fatwa DSN-MUl No. 01IDSN-MUI/X/2013 tentang pedoman implementasi musyarakah mutanaqishah dalam produk pembiayaan. Disebutkan bahwa Musyarakah mutanaqishah sebagaiamana berikut:
a.      Modal usaha dari para pihak (Bank Syariah Lembaga Keuangan Syariah [LKS] dan nasabah) harus dinyatakan dalam bentuk hishshah. Terhadap modal usaha tersebut dilakukan tajzi'atul hishshah; yaitu modal usaha dicatat sebagai hishshah (portion) yang terbagi menjadi unit-unit hishshah. Misalnya modal usaha syirkah dari bank sebesar 80 juta rupiah dan dari nasabah sebesar 20 juta rupiah (modal usaha syirkah adalah 100 juta rupiah). Apabila setiap unit hishshah disepakati bernilai 1 juta rupiah; maka modal usaha syirkah adalah 100 unit hishshah.
b.   Modal usaha yang telah dinyatakan dalam hishshah tersebut tidak boleh berkurang selama akad berlaku secara efektif.
Sesuai dengan contoh pada huruf a, maka modal usaha syirkah dari awal sampai akhir adalah 100 juta rupiah (l00 unit hishshah).
c.   Adanya wa 'd (janji).
Bank Syariah/LKS berjanji untuk mengalihkan seluruh hishshahnya secara komersial kepada nasabah dengan bertahap;
d.      Adanya pengalihan unit hishshah
Setiap penyetoran uang oleh nasabah kepada Bank Syariah/LKS, maka nilai yang jumlahnya sama dengan nilai unit hishshah, secara syariah dinyatakan sebagai pengalihan unit hishshah Bank Syariah/LKS secara komersial (naqlul hishshah bil 'iwadh), sedangkan nilai yang jumlahnya lebih dari nilai unit

Pembiayaan dengan Musyarakah Mutanaqisah ini diberikan kepada perorangan atau perusahaan yang membutuhkan modal untuk mengembangkan usahanya dengan cara bagi hasil. Sedangkan usaha yang dimaksud usaha yang tidak bertentangan dengan Syariah. Tidak ada batasan modal harus pada usaha jenis apa, syariat islam memperbolehkan setiap usaha yang dilakukan oleh manusia asal tidak dalam kemaksiatan berupa perjudian, minuman keras, penipuan dan lain sebagainya.
Dalam pembiayaan dengan cara musyarakah di bank syariah atau lembaga keuangan syariah yang lain juga diberlakukan ketentuan denda jika si nasabah memperlambat pembayaran atau angsuran, sebagaimana yang berlaku di lembaga keuangan lain ada denda keterlambatan dan denda kerugian dimana kedua tersebut harus disesuaikan dengan acuan  fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (ta'widh).

E.     Aplikasi Musyarakah Muntanaqishah dalam Perspektif Fiqh
Pada prinsipnya di dalam hukum fikih, akad syirkah/ Musyarakah  tidak mengenal denda untuk para pihak yang berserikat. Para pihak yang berserikat dalam hukum fikih dituntut untuk menjadi kuawasa (wali) dari pihak yang lain, dan memegang kepercayaan atau amanah pada pihak lain, sehingga para pihak yang berserikat tidak boleh merugikan partner serikatnya, sehingga keduanya tidak saling berhianat. Dan prinsip keuntungan yang disepakati tidak menguntungkan salah satu pihak.
Dalam fikih Syirkah dilandaskan pada ayat qur’an surat Anisa’ ayat 12:
فَهُمْ شُرَكَاءُ فِى الثُّلُثِ...............
…Maka mereka bersekutu dalam sepertiga…..(Q.S. An nisa.Ayat 12)
Prinsip utama dalam Syirkah dalam hukum fikih adalah saling memegang amanah, baik dalam penglolahan, penggunaan modal dan pembagian laba. Penggunaan modal harus disepakati kedua belah pihak atau lebih dalam berseikat, dan pembagian hasil juga harus mendapat kesepakatan dari awal dimulainya perseriktan, sehingga salah satu dari dua belah pihak atau lebih yang melakukan perserikatan tidak merasa dirugikan dan tidak merasa terkhianati. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT menjadi pihak ketiga bagi orang yang melakukan perserikatan. 
اَنَا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ اَحَدَهُمَا صَاحِبَهُ, فَاِنْ خَانَ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
Saya(Allah) menjadi pihak ketiga bagi dua orang yang berserikat selagi salah satu dari mereka tidak berkhianat kepada rekanannya, kemudian jika salah satu dari mereka mengkhianati rekanannya saya (Allah) akan keluar dari perserikatan keduanya. (Abu Dawud dan Hakim)
Secara garis besar  Sayid Sabiq  membagi bentuk-bentuk syirkah dari sudut pandang menggunakan akad atau tidaknya terbagi dalam dua bentuk,
Pertama  Syirkah Amlak, Syirkah Amlak  adalah kepemilikan bagi lebih dari satu orang terhadap suatu benda atau modal tanpa melalui akad. Dalam Syirkah Amlak melihat dari segi cara mendapatkanya ada dua macam pula, Pertama,  Syirkah Amlak Iktiyari, Syirkah ini adalah  bentuk perserikatan yang timbul dari usaha kedua orang yang berserikat, hal ini seperti perserikatan orang saling memberi satu sama lainnya dan orang yang saling berwasiat satu sama lainnya. Kedua,  Syirakah Amlak Ijabari, Syirkah Ini adalah perserikatan yang terjadi pada dua orang atau lebih dengan tanpa usaha mereka, hal ini seperti perserikatan dalam kewarisan.
Kedua adalah Syirkah Ukud, berbeda dengan Syirkah Amlak,  Syirkah Ukud adalah bentuk Syirkah yang dalam praktik perserikatanya harus ditandai dengan perjanjian-perjanjian atau akad antara para pihak yang berserikat. Lebih lanjut Wahbah Zuhaily menukil definisi syirkah ukud dari ulama Hanafiyah,  bahwa Syirkah Ukud adalah sebuah ungkapan  akad (perjanjian) yang dilakukan oleh dua orang atau lebih pada harta benda (modal) dan laba modal tersebut.
Ada perbedaan pandangan dalam pembagian syirkah ukud, menurut ulama Hambali bentuk Syirkah Ukud sebagaimana dijelaskan Wahbah Juhaily ada lima bagian, yaitu, Syirkah Inan, Syirkah Mufawadhoh, Syirkah Abadan, Syirkah Wujuh dan Syirkah Mudhorobah. Adapu menurut  Sayid Sabiq , Malikiya dan Syafi’iyah mengatakan bahwa  Syirkah Mudhorabah bukanlah termasuk  bagian dari Syirkah Ukud, dan Mudhorabah dibahas secara terpisah dari praktik Syirkah.[5]
Adapun penjelasan tentang beberapa bentuk syirkah ukud di atas sebgaiamana berikut:
a.      Syirkah Inan adalah perserikatan antara dua orang atau lebih terhadap harta-harta mereka untuk diperdagangkan, sedangkan laba yang didapat oleh para pihak dibagi kepada para pihak yang berserikat. Dalam Syirkah ini tidak disaratkan adanya modal yang sama antara para pihak, dan tidak disaratkan kesamaan jinis usaha dalam pengembangan modal. Maka diperkenankan dalam syirkah ini perbedaan modal, artinya bisa saja salah satu pihak lebih banyak modalnya dari pihak yang lain. Karena boleh ada perbedaan modal bagi setiap para pihak serikat, maka ada perbedaan laba yang diterimanya yang disesuaikan dengan modal.
b.      Syirkah Mufawadho adalah perserikatan dengan perjanjian antara  dua pihak atau lebih untuk berserikat pada satu usaha  dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu meliputi; Kesamaan modal, Kesamaan penggunaan modal, Kesamaan agama (antara para pihak berserikat) dan antara para pihak yang berserikat saling menanggung satu sama lainnya.
Dengan syarat-syarat di atas, maka salah satu para pihak tidak boleh memperbanyak modal dari yang lain. Jika salah satu dari para pihak lebih banyak modalnya dari yang lain maka batal akad syirkahnya. Para pihak juga boleh berbeda Agama dan tidak boleh salah satu dari para pihak ada yang masih anak-anak dan yang lain sudah dewasa, jika salah satu para pihak ada yang dewasa dan yang lain masih anak-anak, maka akad syirkah ini tidak sah.  Syirkah ini menuntut bagi para pihak untuk saling menjadi kuasa bagi yang lainnya, dan menjadi penanggung dari yang lainnya.
c.       Syirkah Wujuh adalah seperti dua orang atau lebih yang membeli sesuatu barang dari seseorang dengan tanpa modal yang mereka punya karena kepercayaan terhadap keahlian mereka untuk berdagang.
Menurut Abu Bakar Al kasani yang dikutip dalam buku Muhammad Syafii Antonio, Syirkah ini adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam berbisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis al musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar jaminan tersebut. Karenanya kontrak ini pun lazim disebut sebagai musyarakah piutang. Syirkah Wujuh juga sama dengan Syirkah ala Dzmim
d.      Syirkah Abdan, adalah Syirkah yang dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak berserikat atau lebih pada sebuah usaha dari berbagai macam usaha yang dimana ujrah (gaji) yang dihasilkan dari pekerjaan ini menjadi milik bersama para pihak sesuai kesepakatan awal. Syirkah abdan memiliki istilah lain di sebagian kitab karya ahli fikih Wahbah Ajuhaily Contohnya menyamakan istilah Syirkah Abdan dengan Syirkah ‘Amal.
e.       Syirkah Mudharabah, Syirkah ini menurut Ahmad Syarbasy yang juga dinukil oleh Muhammad Syafii Antonio adalah akad kerja sama usaha antara  dua belah pihak di mana pihak pertama (shohibul Mal) menyediakan modal, sedangkan pihak lainnya mengelolah. Keuntungan usaha secara mudhorobah dibagai menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Dan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelolah. Seandainya kerugian itu  diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian penglola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.



BAB III
PENUTUP



Kesimpulan

Akad musyarakah mutanaqishah merupakan akad derivatif dari akad syirkah ‘inan sebagai akad kerjasama bagi hasil. Rukun dan syarat musyarakah mutanaqishah ditetapkan berdasarkan rukun dan syarat syirkah ‘inan. Salah satu syarat syirkah ‘inan ialah adanya bagi hasil (nisbah) yang dinyatakan dalam presentasi dan disepakati bersama di awal akad.
Oleh karena itu, objek musyarakah mutanaqishah mesti dimanfaatkan untuk kegiatan komersial. Akad ini sudah diatur dalam Fatwa DSN No. 73/DSN-MUI/XII/2008 tentang Musyarakah Mutanaqishah. Lembaga Keuangan Syariah dapat mengambil fatwa tersebut untuk mengembangkan produknya. Sehingga kesenjangan akad pada pembiyaan tersebut dapat terselesaikan dan keterbatasan-keterbatasan yang ada pada akad murabahah dapat ditutupi oleh akad Musaraqah Mutanaqisah ini. Kemudian, dampak dari variasi akad akan membuat nasabah memilih sesuai dengan keinginan, kemampuan dan kebutuhannya.



DAFTAR PUSTAKA




Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah : Dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Gema Insani

Ascarya, 2013. Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta :  PT Raja Grafindo Persada

Awaliyah, Wilda, 2015. Akad Musyarakah Mutanaqisah dalam Kegiatan Perbankan. Depok

Heri Sudarsono, 2004. Bank dan Lembaga Keuangan SYARIAH, Yogyakarta :  P3EI

Muhammad Syfii Antonio, 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta : Gema Insani


[1] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan SYARIAH, (Yogyakarta :  P3EI, 2004)
[2] Awaliyah, Wilda. Akad Musyarakah Mutanaqisah dalam Kegiatan Perbankan. (Depok, 2015)
[3] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta :  PT Raja Grafindo Persada, 2013)
[4] Muhammad Syfii Antonio. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. (Jakarta : Gema Insani, 2001)
[5] Antonio, Muhammad Syafii. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktek. (Jakarta: Gema Insani, 2001)

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Iman, Kufur, Nifaq dan Syirik

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Kehidupan masyarakat yang modern dengan arus globalisasi yang cenderung pada materialism-hedonistik sering mendewa-dewakan harta, kedudukan dan kemewahan tanpa menghiraukan norma-norma agama, dipengaruhi beberapa faktor, baik eksternal maupun internal dalam diri manusia itu sendiri, sehingga manusia sering kehilangan pedoman hidup. Islam sebagai agama mempunyai dua dimensi yaitu aqidah atau keyakinan dan sesuatu yang diamalkan atau amaliyah. Amal perbuatan tersebut merupakan perpanjangan dan implementasi dari aqidah itu. Islam adalah agama yang bersumber dari Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang berintikan keimanan dan perbuatan. Keimanan dalam islam merupakan dasar atau pondasi yang diatasnya berdiri syariat-syariat islam. Keimanan kita kepada Allah SWT harus terus menerus dipupuk agar semakin kokoh dan kuat, karena ketika keimanan kita terkikis akan menyeret kita kepada kufur. Kekufuran apabila tertanam dalam jiw

Contoh Laporan KKN Terbaru

BAB 1 PENDAHULUAN A.     Dasar Pemikiran Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM)   merupakan sebuah program pengabdian masyarakat yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa di perguruan tinggi. KPM merupakan implementasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pengabdian masyarakat, dimana dalam kegiatan ini mahasiswa diterjunkan langsung   ke dalam masyarakat serta diharapkan dapat mengamalkan ilmu yang telah diperoleh di perguruan tinngi guna untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Mahasiswa sebagai director of change diharapkan mampu membawa perubahan bagi masyarakat ke arah yang lebih abik melalui proses penganalisaan masalah dalam struktur masyarakat hingga penentuan solusi terbaik dalam memecahkannya. Pengabdian masyarakat yang dilakukan harus diupayakan secara berkesinambungan dengan melakukan berbagai program pelatihan yang dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat setempat. Program pelatihan yang dilakukan dapat berupa pengalaman ilmu pengetahuan , teknolog

Materi Manajemen Portofolio

BAB II PEMBAHASAN A.   Pengertian Manajemen Portofolio Menurut ahli keuangan J Fred Weston, portofolio dapat diartikan sebagai kombinasi atau gabungan berbagai aktiva. Aktiva itu dapat diartikan sebagai investasi surat berharga finansial seperti deposito, properti atau real aset, obligasi, saham, dan bentuk penyertaan lainnya. [1] Portofolio merupakan kumpulan dari instrumen investasi yang dibentuk untuk memenuhi suatu sasaran umum investasi. Sasaran dari suatu portofolio investasi tentunya sangat tergantung pada individu masing-masing investor. [2] Portofolio menggambarkan kepemilikan dari pada instrumen investasi yang disusun dengan perencanaan yang matang untuk pencapaian hasil yang optimal melalui penyebaran risiko. Portofolio mempunyai beberapa alternatif variasi dengan pertimbangan investor harus melihat risiko dan tingkat keuntungan yang bergerak positif didalam portofolio. Portofolio merupakan sekumpulan investasi yang menyangkut identifikasi saham-saham yang mana aka