Skip to main content

MATERI LIKUIDITAS


BAB I
Pendahuluan


1.1          Latar Belakang
Secara umum tugas utama bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Kemudian dana yang telah terkumpul tersebut disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman (kredit), serta memberikan jasa-jasa bank lainnya. Untuk bisa menghimpun dana dari masyarakat, maka bank memiliki keharusan untuk meyakinkan nasabah bahwa uang yang mereka titipkan dijamin keamanannya. Dengan demikian, agar bisa memberikan keamanan kepada para nasabah, maka bank tersebut haruslah likuid.
Kajian mengenai likuiditas di dunia perbankan, merupakan satu keharusan yang harus dilakukan, baik itu oleh pihak perbankan, praktisi keuangan, ataupun pihak-pihak ketiga yang berencana menitipkan dananya di bank. Pentingnya penilaian atas likuiditas suatu bank, merupakan salah satu cara untuk bisa menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang sehat, dan tidak sehat. Salah satu penyebab kebangkrutan suatu bank adalah karena ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya.

1.2         Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari likuiditas ?
2. Apa saja strategi dan ketentuan likuiditas bank syariah?
3. Apa saja teori dalam likuiditas bank syariah?
4. Apa pengertian bantuan likuiditas bank Indonesia?

1.3         Tujuan
1. Mengetahui arti manajemen likuiditas
2. Mengetahui strategi bank syariah
            3. Mengetahui teori-teori likuiditas dalam syariah
            4. Mengetahui bantuan likuiditas bank Indonesia

BAB II
Pembahasan

A.    Pengertian Manajemen Likuiditas
Pengertian likuiditas pada umumnya didefinisikan sebagai kepemilikian sumber dana yang memadai untuk memenuhi seluruh kebutuhan kewajiban yang akan jatuh tempo. Atau dengan kata lain kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo tepat pada waktunya.
Sedangkan manajemen likuiditas sendiri memiliki banyak pengertian, beberapa diantaranya adalah menurut :
1.        Duane B Graddy : “ Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan permintaan dana oleh masyarakat dan penyediaan cadangan untuk memenuhi semua kebutuhan ”
2.        Oliver G Wood : “ Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan kebutuhan dan penyediaan kas secara terus menerus baik kebutuhan jangka pendek atau musiman atau kebutuhan jangka panjang ”.[1]
Manajemen likuidits bank Syariah diartikan sebagai suatu program pengendalian alat-alat likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera harus di bayar.
Tujuan manajemen likuiditas adalah :
1.      Mencapai cadangan yang dibutuhkan yang telah ditetapkan oleh bank sentral karena kalau tidak dipenuhi akan kena pinalti dari Bank sentral.
2.      Memperkecil dana yang menganggur karena kalau banyak dana yang menganggur akan mengurangi profitabilitas bank.
3.      Mencapai likuiditas yang aman untuk menjaga proyeksi cashflow dalam kondisi yang sangat mendesak misalnya penarikan dana oleh nasabah, pengambilan pinjaman.
4.      Menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari
5.      Memenuhi kebutuhan dana mendesak
6.      Memuaskan permintaan nasabah akan pembiayaan
7.      Memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi menarik yang menguntungkan.
8.      Menjaga posisi likuiditas bank agar mampu memenuhi ratio yang ditentukan bank sentral,
9.      Meminimalkan idle fund.

B.     Strategi dan Ketentuan Umum Likuiditas Bank Syariah            
Strategi memelihara likuiditas bank syariah:
-          Memiliki sistem informasi manajemen yang baik
-          Memprediksi prilaku nasabah, seperti disaat menjelang lebaran nasabah banyak yang menarik kembali uangnya
-          Melakukan peminjaman antar bank
-          Mencairkan aset jangka pendek
Untuk mengatasi masalah likuiditas dalam dunia perbankan, baik itu bersifat kelebihan likuiditas ataupun kekurangan likuiditas, maka banyak sekali cara yang bisa digunakan. Ketika terjadi kelebihan likuiditas, pemerintah bisa mengatasinya dengan cara menerbitkan surat berharga islami, baik itu seperti sukuk dan lainnya.
Adapun instrumen yang harus dilakukan bank agar senantiasa dapat tetap likuid adalah:
1.        Memiliki Primary Reserve ( Cadangan Primer )
yaitu dalam kas atau saldo yang ada pada Bank Indonesia atau Bank lain. Dalam dunia perbankan, primary reserve terdiri dari:
a.    Giro pada Bank Sentral atau Giro Wajib Minimum (GWM)
Selama ini Giro pada bank sentral dikenal dengan istilah yakni merupakan kewajiban setiap bank untuk menitipkan dananya di BI. Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan BI, maka besarnya GWM minimal 5% dari total dana pihak ketiga (DPK) untuk valuta rupiah dan 3% dari dana pihak ketiga untuk valuta asing, dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, bagi Bank Umum Syariah yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK kurang dari 80%, mendapat tambahan GWM sebagai berikut:
1) Yang memiliki DPK > Rp 1 triliun s/d Rp 10 triliun wajim memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 1% dari DPK dalam rupiah.
2) Yang memiliki DPK > Rp 10 triliun s/d Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 2% dari DPK dalam rupiah.
3) Yang memiliki DPK > Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 3% dari DPK dalam rupiah.  Sedangkan bagi yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK sebesar 80% atau lebih; dan /atau yang memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp 1 triliun tidak dikenakan tambahan GWM.
b.    Kas pada valuta.
Alat likuid ini berisi uang tunai yang dipelihara oleh bank untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari.
c.    Giro pada Bank lain
Rekening giro pada bank lain bertujuan untuk melancarkan transaksi antar bank (transfer, inkaso, transaks L/C, dan lain-lain)
d.   Item-item uang tunai yang masih dalam proses inkaso.
Alat likuid ini terdiri dari cek bank sentral atau bank koresponden yang belum secara efektif dikreditkan pada rekening bank pada bank sentral atau bank koresponden.
Tujuan dari alat likuid yang termasuk ke dalam kategori primary reserve ( cadangan primer ) adalah:
Ø  Memenuhi reserve requirement yang ditempatkan dalam bentuk Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia.
Ø  Memenuhi keperluan operasional bank sehari-hari.
Ø    Penyelesaian kliring antar bank.
Ø  Memenuhi kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo.
Dapat di katakana likuid apabila bank syariah dapat memelihara GWB di Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dapat memelihara giro di Bank Koresponden dengan besarnya berdasarkan saldo minimum, dapat memelihara sejumlak kas secukupnya untuk memenuhi pengambilan uang tunai.

2.        Memiliki Secondary Reserve
Yaitu cadangan yang berfungsi sebagai penyangga Primary Reserve, ditanam dalam bentuk investasi jangka pendek. Kalau merujuk pada bank-bank Islam yang berada di Bahrain ataupun di kawasan timur tengah, maka kita akan melihat bahwa secondary reserve yang mereka gunakan adalah berupa pembiayaan perdagangan seperti mudharaba. Dan kebanyakan menggunakan jenjang waktu yang pendek (short term), berkisar antara 7 hari sampai dengan 12 bulan .
Adapun cadangan sekunder berupa surat-surat berharga bisa berupa:
a.    Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah.
Adapun ketentuan SWBI sebagai berikut :
1)   Jumlah dana yang dititipkan sekurang-kurangnya Rp 500.000.000 dan selebihnya dengan kelipatan Rp 50.000.000,. Jangka waktu SWBI satu minggu, dua minggu, dan satu bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari.
2)   Imbalan yang diterima pada saat jatuh tempo adalah berupa bonus. Besarnya bonus akan dihitung dengan menggunakan acuan tingkat indikasi imbalan PUAS, yaitu rata-rata tertimbang dari tingkat indikasi imbalan sertifikat IMA yang terjadi di PUAS pada tanggal penitipan
Peran SWBI dalam memenuhi kebutuhan jangka pendek bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah yang memilikinya adalah bisa digunakan pada saat terjadi kekurangan likuiditas ketika tidak tersedianya dana dari Pasar Uang ataupun dari Bank Pusat untuk Unit Usaha Syariah. Sebagai the lender of last resort, Bank Indonesia dapat memberikan pembiayaan dalam bentuk Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah dan SWBI tersebut dapat dijadikan agunan bagi fasilitas pembiayaan tersebut.
b.     Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Surat Berharga Syariah Negara atau dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah ataupun mata uang asing.
Sedangkan Jenis-jenis sukuk yang banyak beredar di pasaran meliputi :
1)   Sukuk ijarah yakni sukuk yang berdasarkan akad ijarah dimana satu pihak bertindak sendiri atau dapat diwakili dalam menjual atau menyewakan hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri.
2)   Sukuk mudharabah, yakni sukuk yang berdasarkan akad mudharabah dimana satu pihak menyediakan modal dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian dan keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagikan berdasarkan perjanjian sebelumnya.
3)   Sukuk musyarakah, yakni sukuk berdasarkan akah musyarakah dimana dua pihak atau lebih bekerjasama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru, mengembangkan proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan maupun kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing masing pihak.
4)   Sukuk istisna’, yakni sukuk berdasarkan akad  istisna’ dimana pihak menyepakati jual beli dalam pembiayaan suatu proyek atau barang. Adapun harga, waktu penyerahan, dan spesifikasi barang atau proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan.

3.          Mempunyai akses ke pasar uang.
Pasar uang yang dimaksudkan di sini adalah pasar uang antar bank syariah dan pasar modal syariah.
            a.    Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS)           
   Pasar Uang Antar Bank berdasarkan Prinsip Syariah adalah transaksi keuangan jangka pendek antar bank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. Untuk saat ini, instrument keuangan untuk Pasar Uang Syariah yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia yakni berupa: Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (SIMA).Tujuan diberlakukannya SIMA ini adalah untuk sarana investasi bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah, terutama untuk mengatur kebutuhan likuiditasnya. Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (sertifikat IMA) didefinisikan sebagai sertifikat yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) yang digunakan sebagai sarana investasi jangka pendek di PUAS dengan akad mudharabah.

Adapun karakteristik Sertifikat IMA :
·  Diterbitkan dengan akad mudharabah
·  Dapat diterbitkan baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing
·  Dapat diterbitkan dengan atau tanpa warkat.
·  Mencantumkan informasi sedikitnya : nilai nominal investasi, nisbah bagi hasil, jangka waktu investasi, indikasi tingkat imbalan Sertifikat IMA sebelum didistribusikan pada bulan terakhir.
·  Berjangka waktu 1 hari sampai dengan 365 hari
·   Dapat diperdagangkan sebelum jatuh tempo.
            b.    Pasar Modal Syariah
     Instrument di pasar modal syariah saat ini meliputi saham yang masuk kategori Jakarta Islamic Index, Sukuk, dan reksadana syariah. Karena Bank tidak diperbolehkan berinvestasi pada saham, maka sukuk dan reksadana syariahlah menjadi secondary reserve dimana instrument ini dapat dijual di secondary market untuk sukuk dan dicairkan untuk reksadana syariah jika Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah membutuhkan dana jangka pendek.
            c.     Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS)
     FPJPS merupakan instrument terakhir untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah setelah terjadinya saldo giro negative dan tidak berhasilnya akses pasar uang syariah untuk menutup kewajiban jangka pendek. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek ini, diberikan hanya kepada Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek, namun masih memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan permodalan.
            d.   LPS Sebagai Sarana Penunjang Likuiditas Perbankan
     Setiap Bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan LPS. Jenis Bank tersebut meliputi bank umum dan BPR, termasuk bank nasional, bank campuran dan bank asing, serta bank konvensional dan bank Syariah. LPS adalah badan hukum yang independent yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) yang ditetapkan tanggal 22 September 2004. Pendirian dan operasional LPS dimulai sejak UU LPS berlaku efektif yakni tanggal 22 September 2005. LPS menjamin simpanan nasabah bank yang berbentuk tabungan, deposito, giro, sertifikat deposito dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. LPS juga menjamin simpanan di bank Syariah yang berbentuk giro wadiah, tabungan wadiah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. LPS hanya akan menjamin pembayaran simpanan nasabah tersebut sampai dengan jumlah Rp 2 milyar sedangkan sisanya akan dibayarkan dari hasil likuiditasi bank.

Strategi mengamankan Likuiditas
Strategi manajemen likuiditas akan sangat terkait dengan tujuan penggunaan likuiditas. Namun dalam menerapkan strategi manajemen yang akan diambil sangat tergantung kepada skill manager likuiditas yang ada, keadaan dari manajemen information system yang dimiliki serta perlu dipertimbangkan kondisi likuiditas pasar dan kebutuhan likuiditas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam rangka menjaga posisi likuiditas dan proyeksi cashflow agar selalu dalam posisi aman, terutama dalam kondisi tingkat bunga berfluktuasi, beberapa strategi yang dapat dikembangkan oleh bank sbb (Raflus Rax, 1996):
-          Memperpanjang jatuh tempo semua kewajiban bank,kecuali bila tingkat bunga senderung mengalami penurunan ;
-          Melakukan diversifikasi sumber dana bank;
-          Menjaga keseimbangan jangka waktu aset dan kewajiban
-          Memperbaikin posisi likuiditas antara lain mengalihkan aset yang kurang marketable menjadi lebih marketable .
Bank dianggap likuid bila:
-          Memiliki sejumlah likuiditas/memegang alat-alat likuid, cash assets (uang kas, rekening pada bank sentral dan bank lainnya) sama dengan jumlah kebutuhan likuiditas yang diperkirakan .
-          Memiliki likuiditas kurang dari kebutuhan, tetapi bank memiliki surat-surat berharga yang segera dapat dialihkan menjadi kas, tanpa mengalami kerugian baik sebelum / sesudah jatuh tempo.
-          Memiliki kemampuan untuk memperoleh likuiditas dengan cara menciptakan uang.
Kewajiban likuiditas wajib minimum:
-          Bank dalam menghimpun dana diwajibkan memelihara sejumlah likuiditas tertentu dari total DPK yang dihimpun oleh bank dalam periode tertentu.
-          Jumlah likuiditas wajib minimum tsb harus ditempatkan dalam rekening giro bank ybs pada bank sentral. Oki/ disebut Giro Wajib Minimum (GWM)
-          Ketentuan BI: GWN Rupiah adalah 5% dari total DPK Rupiah yang dihitung rata-rata hatian dalam satu minggu dan harus dilaporkan ke BI.
#GWM dibedakan dalam 2 kategori: GWM rupiah (5%) dan GWM valas (3%)
#pelapor GWM valas dilakukan oleh bank devisa, sedangkan pelaporan GWM rupiah dilakukan oleh bank devisa dan bukan bank devisa termasuk pula BPR
#perhitungan GWM bagi analis luar menggunakandata keuangan bank yang dipublis di media
#ketentuan BI bank wajib mempublis laporan keuangan setiap triwulan (per 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Dseember)
#perhitungan GWM: jumlah saldo giro pada BI / jumlah DPK X 100% = >5

C.    Teori Manajemen Likuiditas

a.      Commercial loan theory
Teori ini beranggapan bahwa bank-bank hanya boleh memberikan pinjaman dengan surat dagang jangka pendek yang dapat dicairkan dengan sendirinya (self  liquidating)
Teori ini dianggap paling kuno, nama lain dari teori ini adalah real bills doctrine. Teori ini mulai dikenal sekitar 2 abad  lalu. Kajian teori ini dilakukan oleh Adam Smith dalam bukunya yang terkenal The Wealth of Nation yang diterbitkan tahun 1776. teori ini beranggapan bahwa bank hanya boleh memberikan pinjaman dengan surat dagang jangka pendek yang dapat dicairkan dengan sendirinya(self liquiditing). Self Liquiditing berarti pemberian pinjaman mengandung makna untuk pembayaran kembali.

b.      Shiftability theory
Teori ini beranggapan bahwa likuiditas sebuah bank tergantung pada kemampuan bank untuk memindahkan aktivanya ke orang lain dengan harga yang dapat diramalkan.
Shiftability theory teori tentang aktiva yang dapat dipindahkan dan teori ini beranggapan bahwa likuiditas sebuah bank tergantung pada kemampuan bank memindahkan aktivanya ke pada orang lain dengan harga yang dapat diramalkan, misalnya dapat diterima bagi bank utnuk berinvestasi pada pasar terbuka jangka pendek dalam portofolio aktivanya. Jika dalam keadaan ini sejumlah depositor harus memutuskan untuk menarik kembali uang mereka, bank hanya tinggal menjual investasi tersebut, mengambil yang diperoleh (atau dibeli), dan membayarnya kembali kepada depositornya.

c.       Anticipated income theory
Disebut juga teori pendapatan yang diharapkan. Teori ini berkesimpulan bahwa sama sekali benar bagi sebuah bank untuk memberikan pinjaman-pinjaman jangka panjang dan pinjaman-pinjaman bukan untuk dagang.
            Sebagai teori yang dikenal tahun 1940 yang menonjol di Amerika Serikat, yaitu teori pendapatan yang diharapkan (the anticipated income theory) ini berarti semua dana yang dialokasikan atau setiap upaya mengalokasikan dana ditunjukkan pada sector yang feasible dan layak akan menguntungkan bagi bank.

d.      Liabilty management theory
Teori ini melihat struktur aktiva bank mempunyai peran mencolok yang harus dimainkan dalam menyediakan likuiditas untuk bank. Teori ini juga terus melampaui cara pendekatan dengan satu dimensi dan menyatakan bahwa bank juga dapat menggunakan aktivanya untuk tujuan-tujuan likuiditas.
            Maksud teori ini adalah bagaimana bank dapat mengelola pasivanya sedemikian rupa sehingga pasiva itu dapat menjadi sumber likuiditas. Likuiditas yang diperlukan bagi bank adalah:
a)     untuk menghadapi penarikan oleh nasabah
b)     memenuhi kewajiban bank yang jatuh tempo
c)     memenuhi permintaan pinjaman dari nasabah.

D.    Definisi Bank Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
            BLBI adalah akronim dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang berarti bantuan yang diberikan ataas permintaan bank-bank yang mengalami masalah likuiditas. Bantuan ini diberikan untuk menjaga kestabilan sektor perbankan serta sistim pembayaran nasional agar jangan terganggu oleh ketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam definisi lain menjelaskan, BLBI merupakan fasilitas dari Bank Indonesia untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan agar jangan terganggu karena ketidakseimbangan (mismatch) antara permintaan dan penarikan dana pada bank-bank, baik jangka pendek maupun panjang. Dalam operasinya ada berbagai jenis fasilitas likuiditas bank sentral kepada sektor perbankan dengan persyaratan yang berbeda, sesuai dengan sasaran maupun peruntukaannya. Karena jenis fasilitas yang beragam ini secara umum dapat dikatakan bahwa BLBI adalah fasilitas  likuiditas BI yang diberikan kepada bank-bank diluar kredit likuiditas Bank Indonesia atau KLBI.
Meskipun bantuan likuiditas untuk menghadapi masalah perbankan ini sudah ada dipergunakan sejak lama, istilah bantuan likuiditas BI atau BLBI baru digunakan oleh Bank Indonesia sejak tahun 1998. Istilah ini muncul semenjak Indonesia menjelankan program pemulihan ekonomi dengan dukungan IMF yang menyebutkan berbagai fasilitas tadi sebagai liquidity supports. Untuk membedakan dengan KLBI yang lebih dikenal secara umum dan sebagai terjemahan dari liquifity support telah digunakan istilah bantuan likuiditas Bank Indonesia atau BLBI.
Pada dasarnya BLBI terdiri atas 5 jenis fasilitas sebagai berikut :
Ø  Fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistem pembayaran yang bisa terganggu karena adanya mismatch atau kesenjangan antara penerimaan dan penarikan dana perbankan, baik dalam jangka pendek disebut fasilitas diskonto atau fasdis I dan yang berjangka lebih panjang, disebut fasdis II.
Ø  Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka (OPT) sejalan dengan program moneter dalam bentuk SPBU lelang maupun bilateral.
Ø  Fasilitas dalam rangka penyehatan (nursing atau rescue) bank dalam bentuk kredit likuiditas darurat (KLD) dan kredit sub-ordinasi (SOL).
Ø  Fasilitas unutk menjaga kestabilan sistim perbankan dan sistim pembayaran sehubungan dengan danya penarikan dana perbankan secara besar-besaran (bank run atau rush) dalam bentuk penarikan cadangan wajib (GWM) atau adanya saldo negatif atau saldo debet atau overdraft rekening di BI.
Ø   Fasilitas untuk mempertahnkan kepercayan masyarakat pada perbankan dalam bentuk dana talangan untuk membayar kewajiban luar negeri bank dan untuk pelaksanaan sistin peminjaman (blanket guarantee).
Komponen terbesar dari BLBI adalah bantuan likuiditas Bank Indonesia yang diberikan kepada bank-bank yang menghadapi masalah penarikan dana pada bank-bank oleh nasabah secara besar-besaran dan bersamaan, berkaitan dengan krisi yang melanda perekonomian nasional. Akan tetapi BLBI juga menyangkut berbagai fasilitas BI kepada bank-bank dalam bentuk lain sebagaimana secara rinci disebutkan di atas.


Dasar Hukum BLBI
Pada dasarnya pemberian BLBI kepada perbankan didasarkan atas berbagai ketentuan sebagai berikut:
Ø   Undang-undang nomor 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral dalam pasal 29 ayat (1) dan pasal (2) serta Penjelasan Umumnya yang menyebutkan bahwa sebagai lender of last resort Bank Sentral dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan-kesulitan likuiditas yang dihadapi dalam keadaan darurat
Ø   Pasal 37 ayat (2) huruf b UU no 7 tahun 1992 yang mengatakan bahwa “Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, makan Bank Indonesia dapat mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ø   Pasal 2 ayat (1) Keputusan Presiden no 120 taun 1998 yang mengatakan “Bank Indonesia dapat memberikan jaminan atas pinjaman laur negeri dan atau atas pembiayaan perdagangan internasional yang dilakukan oleh bank”.
Ø   Pasal 1 Keputusan Presiden no 26 tahun 1998 yang mengatakan : “Pemerintah memberi jaminan bahwa kewajiban pembayaran bank umum kepada pemilik simpanan dan krediturnya akan dipenuhi: dan
Ø   Pasal 2 ayat (1) Keputusan Presiden no 1998 yang mengatakan “pemerintah memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat:

Petunjuk-petunjuk dan Keputusan Presiden pada Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekku Wasbang dan Prodis pada tanggal 3 September 1007 yang mengataka, krisi di beberapa negara menunjukkan bahwa sejtor keuangan (khususnya perbankan) merupakan unsur yang sangat penting dan dapat menjadi pemicu serta memperburuk keadaan. Untuk itu, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia mengambil langkah-langkah berikut:
a.       Bank-bank nasional yang sehat tetapi mengalami kesulitan likuiditas untuk sementara supaya dibantu.
b.      Bank-bank yang nyata-nyata tidak sehat, supaya diupayakan penggabungan atau akuisisi  dengan bank-bank lainnya yang sehat.

BLBI dalam Keadaan Normal
Dalam keadaan normal, suatu bank meskipun dalam keadaan sehat dapat saja menghadapi masalah adanya kesenjangan antar aliran dana yang harus dibayarkan dengan yang diterima di dalam menjalankan fungsinya sebagai perantara keuangan dalam sistim pembayaran sebagai. Aliran dana itu harus dilaksanakan sebagai pembiayaan transaksi yang terjadi dalam perekonomian, keadaan likuiditas bank demikian disebut sebagai suatu mismacth artinya suatu keseniangan yang timbul karena tagihan terhadap bank tersebut (liabilities) lebih besar dari hak untuk dibayar (assets) pada hari dilakukan pencatatan.
Hak menerima bayaran dan kewajiban membayar harian yang terjadi karena transaksi yang dibayar melalui dokumen dengan perantaraan perbanakn setiap hari kerja disosokkan melalui proses kliring, yang di Indonesia dilaksanakan oleh lembaga kliring. Di Indonesia kliring dilaksanakan oleh BI serta dalam hal-hal tertentu oleh bank-bank yang ditunjuk BI. Dalam sistem pembayaran nasional pembayaran dilakukan selain melalui cara ini juga melalui cara tunai, menggunakan uang.
Suatu bank yang menghadapi kalah kliring harian dalam keadaan normal akan mengatasinya dengan cara-cara sebagai berikut:
            1.Menutup kekalahan dengan menggunakan dananya sendiri, baik yang disimpan dibanknya atau yang disimpan di BI. Sejak tahun 1995, bersamaan dengan perubahan ketentuan tentang besarnya dan cara menghitung jumlah minimal giro wajib bank atau giro wajib minimum (GWM), bank-bank diharuskan menyimpan giro wajib pada BI. Untuk kehati-hatiannya bank-bank biasanya mempunyai giro yang lebih besar dari kewajian minimumnya (5% dari dana pihak ketiga sejak 1996).
            2.Menutup kekurangan tersebut dengan mencari pinjaman dari bank lain dalam pasar uang antar bank (PUAB) dengan suku bunga yang berlaku di pasar. Suku bunga pasar uang antar bank ini untuk bank-bank yang dianggap bonafide di Jakarta, sejumlah 21 bank yang relatif besar, disebut suku bunga JIBOR (Jakarta inter-bank offer rate). Untuk bank-bank diluar mereka ini biasanya suku bunga lebih tinggi lagi. Semakin suatu bank dianggap rendah bonafiditasnya diantara mereka semakin tinggi suku bunga yang harus dibayar untuk pinjaman antar bank ini.
            3. Kalau dari sumber-sumber tersebut tidak diperoleh, apapun alasannya, maka jalan yang ditempuh adalah minta menggunakan fasilitas BI yang digunakan untuk menghadapi masalah ini. Fasilitas yang tersedia adalah yang disebutkan pertama di atas, Fasdis I atau Fasdis II yang berbeda dalam jangka waktu dan persyaratannya.

Dalam keadaan normal bank sebenarnya tidak suka meminta BI untuk menggunakan fasilitas diskonto, karena dalam keadaan normal hal ini dipandang sebagai tindakan yang menunjukkan kelemahan bank yang bersangkutan kepada bank-bank lain, bahwa bank tersebut tidak dipercaya meminjam dana jangka pendek dari sesama bank. Ini merupakan suatu tabu. Selain itu suku bunga fasilitas diskonto ini lebih tinggi dari suku bunga pasar antar bank, karena mengandung unsur hukuman atau penalty, agar bank tidak mudah menggunakan fasilitas ini. Ini menjaga timbulnya moral hazard.

Jadi dalam keadaan normal, bank yang kalah kliring dapat mencari dana untuk menutup kekurangan likuiditasnya dengan meminjam dari bank lain pada pasar uang antar bank dengan suku bunga yang berlaku.

BLBI dalam Keadaan Krisis
Semenjak gejolak moneter mengenai Indonesia pertengahan Juli 1997, maka sebagai implikasi dari kebijakan moneter yang ditempuh terjadi keketatan likuiditas perekonomian. Ini terjadi terutama setelah pengambangan rupiah medio Agustus 1997. Keketatan likuiditas merupakan implikasi dari tindakan mempertahankan nilai rupiah melalui kebijaksanaan fiskal (menahan pengeluaran rutin), kebijakan moneter (penghentian pembelian SBPU oleh BI akhir Juli 1997 dan peningkatan suku bunga SBI sampai lebih dari dua kali lipat minggu ketiga Agustus 1997), ditambah dengan suatu tindakan yang merupakan gebrakan moneter (pengalihan deposito berbagai BUMN dan Yayasan menjadi SBI). Ini merupakan permulaan terjadinya dampak negatif krisis terhadap sektor perbankan.

Proses terjadinya mismatch likuiditas perbankan dan jalan yang ditempuh perbankan sampai terjadinya pemberian BLBI mungkin dapat digambarkan sebagai berikut: Semula, terjadi proses pengalihan dana perbankan dari bank yang satu ke yang lain. Bank-bank yang mengalami penarikan dana nasabah secara besar-besaran menghadapi masalah kekurangan likuiditas ini dengan mencari pinjaman antar bank. Setelah sumber ini menghilang, bank akan menggunakan dana yang dimilikinya pada BI. Giro bank yang bersangkutan pada BI berkurang dengan penarikan ini, semula dari dana diluar GWM, kemudian setelah dana ini hilang, kalau penarikan masih berjalan dihadapi dengan penyusutan GWM. Kalau penarikan berlanjut, bank yang memang harus melayani penarikan dana nasabah harus membiayainya dengan mengalami saldo negatif atau saldo debet atau overdraft pada rekening giro di BI.

Pelanggaran GWM (kurang dari 5% atas dana pihak ketiga bank) ini mengandung penalti yang berat, kalau tidak dibayar akan menjadi hutang bank kepada BI. Jumlah bank yang melanggar ketentuan GWM ini membengkak dengan berjalannya krisis. Sebagai contoh pada bulan Agustus 1997, pelanggaran ketentuan GWM, artinya giro bank-bank pada BI yeng menurun dibawah 5% dari dana pihak ketiga, terjadi terhadap 14 bank pada tanggal pengumuman pengambangan rupiah (14/8/97) dan menjadi 51 pada akhir Agustus 1997. Setelah krisis terjadi memang ada yang menyalahkan kebijakan Pemerintah mengambangkan rupiah.

Pasar uang antar bank menjadi lebih terkotak-kotak, bank yang masih mempunyai kelebihan likuiditas harian tidak bersedia melepas likuiditasnya di pasar uang antar bank. Likuiditas yang berlebih hanya dilepas kepada bank lain yang benar-benar dikenalnya dengan suku bunga yang sangat tinggi. Dalam proses penyelamatan oleh pemiliknya, dana dikeluarkan oleh pemiliknya dari bank-bank yang dipandang lemah (tidak memberi jaminan keamanan dana) kepada bank-bank yang dianggap kuat atau apa yang dikenal sebagai flights to safety, bank-bank Pemerintah, bank-bank swasta besar dan bank-bank asing yang dianggap aman memperoleh tambahan likuiditas atas kerugian bank-bank yang dianggap lemah.

Adanya kompartmentalisasi atau segmentasi pasar uang antar bank ini menyulitkan pengelolaan likuiditas maupun pengendalian sistim pembayaran oleh Bank Indonesia. Suku bunga antar bank yang tidak mengalami masalah likuiditas tidak terlampau tinggi, sebaliknya dengan suku bunga antar bank yang mengalami keketatan likuiditas

Sebagian bank tidak dapat memperoleh akses likuiditas dari pasar, padahal mengalami masalah mismatch likuiditas. Bank-bank inilah pada dasarnya yang terpaksa lari ke BI untuk mengajukan permintaan bantuan likuiditas. Bank-bank yang dalam posisi demikian menjadi semakin banyak dengan berjalannya krisis moneter yang terus belangsung.

Setelah pelanggaran ketentuan GWM, karena penarikan dana perbankan berlanjut maka bank-bank mengalami saldo debet atau saldo negatif pada rekening giro mereka di BI. Bank yang mengalami saldo negatif pada akhir 1997 tercatat sebanyak 29. Sebagaimana digambarkan di atas, ini terjadi melalui proses kliring yang menghitung segala tagihan dan pembayaran yang setelah digabungkan atau dinetokan (netting) maka suatu bank akan mempunyai posisi kalah kliring atau sebaliknya, atau saldonya nol kalau tagihan dan pembayaran ternyata berimbang. Kalau sumber-sumber lain untuk menutup kekalahan kliring tidak ada, maka bank tersebut dapat mempunyai saldo negatif pada rekening gironya di BI.

Selain saldo negatif pada rekening giro bank-bank di BI bentuk BLBI lain adalah dana talangan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran sebagai implikasi dari janji Pemerintah memberi perlindungan pada deposan kecil pada bank yang dicabut ijin usahanya, sesuai Kebijakan Pemerintah 3 September 1997. Dalam rangka pencabutan ijin usaha 16 bank bulan Nopember 1997 BI membiayai pengembalian dana deposan sampai dengan Rp 20 juta untuk masing-masing rekening, yang merupakan dana talangan. Selain itu juga dilakukan pembayaran kepada pemilik deposito dan tabungan diatas Rp 20 juta pada minggu ketiga Pebruari 1998.

Setelah krisis bekelanjutan bahkan lebih memburuk dalam arti ancaman hilangnya sama sekali kepercayaan terhadap perbankan, maka atas usul IMF dalam kelanjutan dari negosiasi untuk LOI kedua, Pemerintah pada akhir Januari 1998 menerapkan suatu sistim yang memberi jaminan kepada bank nasional Indonesia yang mencakup keseluruhan kreditur dan deposito serta tabungan bank, dikenal sebagai blanket guarantee. Dana yang digunakan untuk kepentingan ini juga merupakan bagian dari BLBI.

Permasalahan Beban Pembiayaan BLBI
Jumlah BLBI ternyata sangat besar. Ini terutama disebabkan oleh terjadinya krisis yang berkepanjangan dan karena jalan keluar yang prosesnya, apapun alasannya, ternyata memakan waktu sangat panjang. Padahal dalam penyelesaian masalah yang terkait dengan krisis yang mempunyai dampak penularan atau contagious, kecepatan itu sangat penting. Kecepatan untuk mengetahui atau mengidentifikasi, menerima dan dalam mencari solusi membuat rencana dan melaksanakannya dengan tepat, cepat dan konsisten itu sangat menentukan berhasil tidaknya. The sooner the better, kata orang, karena itu speed is the essence. Memang dalam hal ini sering kecepatan mengorbankan ketelitian.
Besarnya jumlah BLBI sebenarnya tergantung mana saja dari jenis-jenis fasilitas itu yang akan dimasukkan. Kalau difinisi yang diambil yang sangat umum, bahawa BLBI adalah semua bantuan likuiditas BI untuk perbankan diluar KLBI, maka jumlah ini jelas sangat besar. Selain jumlah akhir dan komposisi dari BLBI mungkin perkembangan dari jumlah tersebut juga perlu diperhatikan untuk melihat perkembangan masalah yang kerkaitan dengan pemberian BLBI ini.
Berbagai permasalahan yang timbul dari jumlah BLBI ini akan nampak kalau diikuti hasil audit BPK yang menunjukkan pernilain lembaga tersebut untuk masing-masing jenis BLBI mana yang dianggap tepat dan mana yang tidak untuk pembebanannya pada anggaran Pemerintah. Dalam hal ini mungkin ada beberapa jumlah besarnya BLBI yang bisa dijadikan patokan untuk dibahas statusnya, sebagai berikut:
                              1.   Jumlah BLBI posisi Maret 1998 yang disebutkan dalam pengalihan hak tagih BI kepada Pemerintah (BPPN) berkaitan dengan penyerahan 54 bank dibawah pengawasan BPPN adalah sebesar RP 144,5 triliun yang kemudian menjadi basis dikeluarkannya obligasi yang sama besarnya dengan jumlah ini. Kepada jumlah ini masih ditambah dengan Rp 20 triliun untuk membayar kewajiban PT. Bank Ekspor-Impor Indonesia. Keduanya berjumlah Rp. 164,5 triliun. Diluar ini masih ada penyediaan dana penjaminan (blanket guarantee) sebesar Rp.53,8 triliun.
                              2.    Dalam laporan auditnya BPK hanya membuat audit mengenai jumlah BLBI diluar dana penjaminan atau Rp 164,5 tiliun saja. Jumlah ini menurut laporan BPK harusnya terlebih dahulu disepakati antara Depkeu dengan BI. Dan karena kesepakatan mengenai kriteria pemberian BLBI antara kedua instansi belum ada, maka kesepakan mengenai jumlah tersebut juga belum ada. Ini yang menyebabkan BPK mengambil keputusan untuk tidak memberikan pendapat.
                             3. Sedangkan dalam audit yang dilakukan, karena belum adanya kriteria yang disepakati maka BPK melakukan pengecekan kelayakan jumlah-jumlah tersebut berdasarkan ketentuan BI yang seharusnya diikuti. Pendapat yang pada akhirnya menghasilkan laporan jumlah mana yang layak dipikul Pemerintah dan mana yang tidak layak didasarkan atas pengecekan proses pemberian BLBI dengan ketentuan atau persyaratan yang ada. Kalau ketentuan tsb tidak dipatuhi maka BPK berpendapat bahwa jumlah BLBI yang tidak mengikuti ketentuan tersebut tidak bisa dibebankan kepada anggaran Pemerintah. Perhitungan-perhitungan ini antara lain yang menghasilkan bahwa BI harus menyediakan cadangan terhadap tagihan-tagihannya yang macet yang jauh lebih besar dari cadangan yang disediakan. Karena kewajiban menyediakan cadangan inilah maka diperoleh saldo negatif pada neraca BI. Saldo negatif ini jauh lebih besar dari modal yang ada, karena itu BI berdasarkan perhitungan ini sudah dalam keadaan tidak solvent.
                              4.  Beberapa waktu yang lalu ada suatu pendapat di Depkeu yang menyatakan bahwa pertanggungan anggaran Pemerintah sebaiknya hanya menyangkut BLBI yang diberikan sejak diterapkannya blanket guarantee pada akhir Januari 1998. Mungkin ada pendapat yang lain lagi mengenai jumlah mana yang layak ditanggung anggaran.



























BAB III
Penutup

Kesimpulan
Likuiditas pada umumnya didefinisikan sebagai kepemilikian sumber dana yang memadai untuk memenuhi seluruh kebutuhan kewajiban yang akan jatuh tempo. Atau dengan kata lain kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pada saat ditagih  baik yang dapat diduga ataupun yang tidak terduga. Manajemen likuidits bank Syariah diartikan sebagai suatu program pengendalian alat-alat likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera harus di bayar.
Fungsi dari manajemen likuiditas salah satunya adalah untuk memberikan keyakinan kepada para penyimpan dana bahwa deposan dapat menarik sewaktu-waktu dananya atau pada saat jatuh tempo dana tersebut dapat ditarik. Oleh karena itu bank wajib mempertahankan sejumlah dana likuid agar bank dapat memenuhi kewajibannya tersebut. Selama ini alat untuk manajemen likuiditas dalam bank syariah adalah PUAS (pasar uang antar bank syariah) dengan akad wadiah, SIMA (sertifikat mudharabah antar bank syariah) dan SWBI (surat wadiah bank indonesia) juga dengan akad wadiah. Apabila suatu bank kekurangan likuiditas, maka bank tersebut akan meminjam kepada bank lain berupa PUAS, SWBI atau menerbitkan SIMA, dan sebaliknya.
Instrument yang harus dilakukan bank agar senantiasa dapat tetap likuid adalah : 1. Memiliki Primary Reserve ( Cadangan Primer ) yang terdiri dari: Giro pada Bank Sentral atau Giro Wajib Minimum (GWM), Kas pada valuta, Giro pada Bank lain, Item-item uang tunai yang masih dalam proses inkaso. 2. Memiliki Secondary Reserve Yaitu cadangan yang berfungsi sebagai penyangga Primary Reserve. Adapun cadangan sekunder berupa surat - surat berharga bisa berupa: Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).3. Mempunyai akses ke pasar uang yaitu :    Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS), Pasar Modal Syariah, Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS), LPS Sebagai Sarana Penunjang Likuiditas Perbankan

Daftar Pustaka

http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/11/manajemen-likuiditas-perbankan-syariah.html


[1] http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/11/manajemen-likuiditas-perbankan-syariah.html

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Iman, Kufur, Nifaq dan Syirik

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Kehidupan masyarakat yang modern dengan arus globalisasi yang cenderung pada materialism-hedonistik sering mendewa-dewakan harta, kedudukan dan kemewahan tanpa menghiraukan norma-norma agama, dipengaruhi beberapa faktor, baik eksternal maupun internal dalam diri manusia itu sendiri, sehingga manusia sering kehilangan pedoman hidup. Islam sebagai agama mempunyai dua dimensi yaitu aqidah atau keyakinan dan sesuatu yang diamalkan atau amaliyah. Amal perbuatan tersebut merupakan perpanjangan dan implementasi dari aqidah itu. Islam adalah agama yang bersumber dari Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang berintikan keimanan dan perbuatan. Keimanan dalam islam merupakan dasar atau pondasi yang diatasnya berdiri syariat-syariat islam. Keimanan kita kepada Allah SWT harus terus menerus dipupuk agar semakin kokoh dan kuat, karena ketika keimanan kita terkikis akan menyeret kita kepada kufur. Kekufuran apabila tertanam dalam jiw

Contoh Laporan KKN Terbaru

BAB 1 PENDAHULUAN A.     Dasar Pemikiran Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM)   merupakan sebuah program pengabdian masyarakat yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa di perguruan tinggi. KPM merupakan implementasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pengabdian masyarakat, dimana dalam kegiatan ini mahasiswa diterjunkan langsung   ke dalam masyarakat serta diharapkan dapat mengamalkan ilmu yang telah diperoleh di perguruan tinngi guna untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Mahasiswa sebagai director of change diharapkan mampu membawa perubahan bagi masyarakat ke arah yang lebih abik melalui proses penganalisaan masalah dalam struktur masyarakat hingga penentuan solusi terbaik dalam memecahkannya. Pengabdian masyarakat yang dilakukan harus diupayakan secara berkesinambungan dengan melakukan berbagai program pelatihan yang dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat setempat. Program pelatihan yang dilakukan dapat berupa pengalaman ilmu pengetahuan , teknolog

Materi Manajemen Portofolio

BAB II PEMBAHASAN A.   Pengertian Manajemen Portofolio Menurut ahli keuangan J Fred Weston, portofolio dapat diartikan sebagai kombinasi atau gabungan berbagai aktiva. Aktiva itu dapat diartikan sebagai investasi surat berharga finansial seperti deposito, properti atau real aset, obligasi, saham, dan bentuk penyertaan lainnya. [1] Portofolio merupakan kumpulan dari instrumen investasi yang dibentuk untuk memenuhi suatu sasaran umum investasi. Sasaran dari suatu portofolio investasi tentunya sangat tergantung pada individu masing-masing investor. [2] Portofolio menggambarkan kepemilikan dari pada instrumen investasi yang disusun dengan perencanaan yang matang untuk pencapaian hasil yang optimal melalui penyebaran risiko. Portofolio mempunyai beberapa alternatif variasi dengan pertimbangan investor harus melihat risiko dan tingkat keuntungan yang bergerak positif didalam portofolio. Portofolio merupakan sekumpulan investasi yang menyangkut identifikasi saham-saham yang mana aka